




























Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
Riba adalah penetapan bunga atau melebihkan jumlah pinjaman saat pengembalian berdasarkan persentase tertentu dari jumlah pinjaman pokok yang dibebankan kepada peminjam. Riba secara bahasa bermakna ziyadah. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar
Typology: Schemes and Mind Maps
1 / 36
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Oleh: Anita Rahmawaty, M.Ag. ∗∗∗∗
Abstrak Kajian mengenai riba senantiasa menjadi diskursus hangat dalam ilmu ekonomi Islam. Hal ini terlihat dari pembahasan mengenai riba yang senantiasa mewarnai konstalasi pemikiran umat Islam dan perdebatannya hampir tidak menemukan titik temu. Perdebatan pemikiran mengenai riba dan bunga bank menunjukkan bahwa persoalan riba sebenarnya sangat terkait erat dengan masalah uang. Evolusi konsep riba ke bunga tidak lepas dari perkembangan lembaga keuangan. Untuk itu, tulisan ini mencermati dan menganalisis persoalan riba dalam perspektif keuangan Islam, dan di akhir tulisan ini menawarkan sistem profit-loss sharing sebagai solusi alternatif pengganti sistem bunga dalam sistem perekonomian Islam.
Kata kunci: Riba, keuangan Islam.
A. LATAR BELAKANG MASALAH Riba dikenal sebagai istilah yang sangat terkait dengan kegiatan ekonomi. Pelarangan riba merupakan salah satu pilar utama ekonomi Islam, di samping implementasi zakat dan pelarangan maisir, gharar dan hal-hal yang bathil. Secara ekonomi, pelarangan riba akan menjamin aliran investasi menjadi optimal, implementasi zakat akan meningkatkan permintaan agregat dan mendorong harta mengalir ke investasi, sementara pelarangan maisir, gharar dan hal-hal yang bathil akan memastikan investasi mengalir ke sektor riil untuk tujuan produktif, yang akhirnya akan meningkatkan penawaran agregat (Ascarya, 2007: 8). Pelarangan riba, pada hakekatnya adalah penghapusan ketidakadilan dan penegakan keadilan dalam ekonomi. Penghapusan riba dalam ekonomi Islam dapat dimaknai sebagai penghapusan riba yang terjadi dalam jual beli dan hutang- pihutang. Dalam konteks ini, berbagai transaksi yang spekulatif dan mengandung unsur gharar harus dilarang. Demikian pula halnya dengan bunga -- yang merupakan riba nasi’ah -- secara mutlak harus dihapuskan dari perekonomian.
∗ (^) Penulis adalah Dosen STAIN Kudus, sekarang sedang menempuh Program Doktor Ekonomi Islam di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mencermati persoalan riba ini sebenarnya sangat terkait erat dengan masalah keuangan dan perbankan. Belum lama hilang dari ingatan kita, tragedi krisis moneter 1997 dimana ekonomi Indonesia terpuruk, bahkan telah menjadi krisis multidimensi. Perekonomian Indonesia yang ikut terseret dalam kisaran krisis yang berkepanjangan ini ditengarai akibat pengelolaan kebijakan moneter yang tidak efektif (Nasution, dkk, 2006: 261). Selain itu, dipicu juga oleh masalah utang luar negeri yang telah berubah menjadi ”bom waktu” sehingga menghancurleburkan perekonomian Indonesia saat itu. Pengusaha-pengusaha konglomerat yang dipuja-puja sebagai ”pembayar pajak terbesar”, ternyata tak ubahnya sebagai ”penjarah-penjarah” tingkat nasional. Bank tidak dijadikan sebagai lembaga untuk membantu pemerintah dan masyarakat dalam membiayai pembangunan nasional, tetapi justru sebagai alat penjarahan dana-dana pemerintah dan masyarakat oleh para konglomerat (Mubyarto, 2007: 274). Akibatnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai rata-rata 7% per-tahun tiba-tiba anjlok secara spektakuler menjadi minus 15% di tahun 1998, yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya inflasi sebesar 78%, jumlah PHK meningkat, penurunan daya beli dan kebangkrutan sebagian konglomerat dan dunia usaha. Dalam waktu singkat, dari Juli 1997 sampai 13 Maret 1999, pemerintah telah menutup tidak kurang dari 55 bank, di samping mengambil alih 11 bank (BTO) dan 9 bank lainnya dibantu untuk melakukan rekapitalisasi. Sedangkan semua bank BUMN dan BPD harus ikut direkapitalisasi. Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter, pada saat itu tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah (Arifin, 1999: v-vii). Fakta empiris di atas menunjukkan bahwa perbankan konvensional yang menggunakan sistem bunga, ternyata sangat labil dan tidak tahan menghadapi gejolak moneter yang diwarnai oleh tingkat suku bunga yang tinggi, sehingga mengalami negatif spread. Namun sebaliknya, sistem perbankan syari’ah telah menunjukkan dirinya sebagai sistem yang tangguh dan terbebas dari negatif spread karena tidak berbasis pada sistem bunga. Untuk itu, tulisan ini berupaya untuk mengkaji persoalan riba dalam persepektif keuangan Islam. Pembahasannya akan dimulai dari menguak latar
salah satu dari tiga model pendekatan Islamisasi ekonomi yaitu negation (Suharto, 2004: 45). Dalam konteks ekonomi Islam, tidak semua paradigma ekonomi konvensional dapat diterima masuk dalam ekonomi Islam. Sebagian paradigma ekonomi konvensional, bahkan yang paling fundamental harus ditolak dan tidak bisa dikompromikan dengan ajaran Islam. Untuk itu, kajian riba dapat didekati dengan menggunakan model negation ini.
E. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
1. Riba: Tinjauan Historis Konsep riba sebenarnya telah lama dikenal dan telah mengalami perkembangan dalam pemaknaan. Kajian mengenai riba, ternyata bukan hanya diperbincangkan oleh umat Islam saja, tetapi berbagai kalangan di luar Islam-pun memandang serius persoalan ini. Jika dirunut mundur hingga lebih dari dua ribu tahun silam, kajian riba ini telah dibahas oleh kalangan non-Muslim, seperti Hindu, Budha (Rivai, dkk, 2007: 761), Yahudi, Yunani, Romawi dan Kristen (Antonio, 2001: 42). Konsep riba di kalangan Yahudi, yang dikenal dengan istilah “neshekh” dinyatakan sebagai hal yang dilarang dan hina. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian lama) maupun dalam undang-undang Talmud. Banyak ayat dalam Old Testament yang melarang pengenaan bunga pada pinjaman kepada orang miskin dan mengutuk usaha mencari harta dengan membebani orang miskin dengan riba (Antonio, 2001: 43) diantaranya adalah sebagai berikut:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudaramu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uangmu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba”. Sedangkan pada masa Yunani dan Romawi Kuno, praktek riba merupakan tradisi yang lazim berlaku (Islahi, 1988: 124). Pada masa Yunani sekitar abad VI SM hingga 1 M, terdapat beberapa jenis bunga yang bervariasi besarnya (Antonio, 2001: 43). Sementara itu, pada masa Romawi, sekitar abad V SM hingga IV M, terdapat undang-undang yang membolehkan penduduknya mengambil bunga selama tingkat bunga tersebut sesuai dengan “tingkat maksimal yang dibenarkan hukum ( maximum legal rate ). Nilai suku bunga ini berubah-ubah sesuai dengan berubahnya waktu, namun pengambilannya tidak dibenarkan dengan cara bunga berbunga ( double countable ). Pada masa Romawi terdapat 4 jenis tingkat bunga (Antonio, 2001: 44), yaitu sebagai berikut:
Tahap pertama , disebutkan bahwa riba akan menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah, sedangkan shodaqoh akan meningkatkan keberkahan berlipat ganda (QS. Ar-Rum: 39). Tahap kedua , pada awal periode Madinah, praktik riba dikutuk dengan keras, sejalan dengan larangan pada kitab-kitab terdahulu. Riba dipersamakan dengan mereka yang mengambil kekayaan orang lain secara tidak benar dan mengancam kedua belah pihak dengan siksa Allah yang pedih (QS. An-Nisa’: 160-161). Tahap ketiga , pelarangan riba dengan dikaitkan pada suatu tambahan yang berlipat ganda (QS. Ali Imron: 130). Ayat ini turun setelah perang Uhud yaitu tahun ke-3 Hijriyah. Menurut Antonio (2001: 49), istilah berlipat ganda harus dipahami sebagai sifat bukan syarat sehingga pengertiannya adalah yang diharamkan bukan hanya yang berlipat ganda saja sementara yang sedikit, maka tidak haram, melainkan sifat riba yang berlaku umum pada waktu itu adalah berlipat ganda. Tahap keempat merupakan tahap terakhir di mana Allah dengan tegas dan jelas mengharamkan riba, menegaskan perbedaan yang jelas antara jual beli dan riba dan menuntut kaum Muslimin agar menghapuskan seluruh hutang-pihutang yang mengandung riba (QS. Al-Baqarah: 278-279).
2. Konsep Riba dan Bunga dalam Ekonomi Islam a. Definisi dan Jenis-Jenis Riba Secara etimologis, kata " ar-riba " bermakna zada wa nama' , yang berarti bertambah dan tumbuh (Abadi, 1998: 332). Di dalam al-Qur'an, kata " ar-riba " beserta berbagai bentuk derivasinya disebut sebanyak dua puluh kali; delapan diantaranya berbentuk kata riba itu sendiri. Kata ini digunakan dalam al-Qur'an dengan bermacam-macam arti, seperti tumbuh, tambah, menyuburkan, mengembang, dan menjadi besar dan banyak. Meskipun berbeda-beda, namun secara umum ia berarti bertambah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Saeed, 1996: 20).
Sedangkan secara terminologis, riba secara umum didefinisikan sebagai melebihkan keuntungan (harta) dari salah satu pihak terhadap pihak lain dalam transaksi jual beli atau pertukaran barang yang sejenis dengan tanpa memberikan imbalan terhadap kelebihan tersebut (Al-Jaziri, 1972: 221). Dalam ungkapan yang lain, riba dipahami sebagai pembayaran hutang yang harus dilunasi oleh orang yang berhutang lebih besar daripada jumlah pinjamannya sebagai imbalan terhadap tenggang waktu yang telah lewat waktu (Muslim, 2005: 128). Dengan mengabaikan perbedaan pendapat yang ada, umumnya para fuqaha' menyepakati akan adanya dua macam riba, yaitu riba fadl (sebagaimana definisi pertama) dan riba nasi'ah (sebagaimana definisi kedua). Namun, Abu Zahrah dan Rafiq Yunus al-Misri membuat pembagian riba yang agak berbeda dengan ulama lainnya. Menurut keduanya, riba dibedakan atas riba yang terjadi pada hutang-pihutang yang disebut dengan riba nasi'ah dan riba yang terjadi pada jual beli, yaitu riba nasa' dan riba fadl. Al-Mishri menekankan pentingnya pembedaan antara riba nasi'ah dengan riba nasa' agar terhindar dari kekeliruan dalam mengidentifikasi berbagai bentuk riba. Tabel 1. Tipologi Riba Menurut Abu Zahrah dan Yunus al-Mishri Transaksi Jenis Unsur-unsur Keteranngan
Riba
Pinjam- meminjam
Riba Nasi'ah Penundaan dan tambahan
Sepakat tentang haramnya jika dzulm dan eksploitatif Jual beli Riba Nasa' Penundaan Masih ikhtilaf Riba Fadl Tambahan Sumber: Muslim, 2005: 132 Riba nasi'ah dalam definisi sebagaimana yang dipraktekkan masyarakat Arab Jahiliyyah dengan ciri utama berlipat ganda dan eksploitatif telah disepakati keharamannya oleh para ulama. Sementara yang kini menjadi perdebatan adalah riba nasi'ah yang tidak berlipat ganda dan dalam taraf tertentu dipandang tidak eksploitatif, sebagaimana yang banyak diperbincangkan mengenai bunga bank ( interest ). Sementara pada riba fadl masih diperdebatkan hukumnya di antara ulama dan cendekiawan Muslim. Hassan merupakan salah satu ulama yang tidak setuju dengan pengharamannya dengan berbagai alasan.
Abu Hanifah: setimbang ( ittihad al-wazn ) Imam Malik, Syafi'i dan Ahmad: sejenis dalam harga
Tukar (beli) emas dan perak
Riba fadl Abu Hanifah: seukuran ( ittihad al-kail ) Imam Malik: sejenis ( ittihad al-jins ) dan termasuk makanan Ahmad: makanan dengan syarat bisa ditimbang dan diukur
Tukar (beli) gandum, kurma, garam
Sumber: Muslim, 2005: 135.
Perbedaan-perbedaan di atas umumnya disebabkan oleh beragamnya interpretasi terhadap riba. Kendati riba dalam al-Qur'an dan al-Hadits secara tegas dihukumi haram, tetapi karena tidak diberi batasan yang jelas, sehingga hal ini menimbulkan beragamnya interpretasi terhadap riba. Selanjutnya persoalan ini berimplikasi juga terhadap pemahaman para ulama sesudah generasi sahabat. Bahkan, sampai saat ini persoalan ini (interpretasi riba) masih menjadi perdebatan yang tiada henti.
b. Definisi Bunga ( Interest ) Secara etimologis, bunga dalam The American Heritage Dictionary of the English Language didefinisikan sebagai interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned (Wirdyaningsih, et.al, 2005: 21). Definisi senada dapat ditemukan dalam Oxford English Dictionary diartikan sebagai money paid for use of money lent (the principal) or for forbearance of a debt, according to a fixed ratio (rate per cent). Sedangkan dalam the Legal Encyclopedia for Home and Business didefinisikan sebagai compensation for use of money which is due (Tim Pengembangan Bank Syari’ah, 2001: 36). Sementara riba sering diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai " usury " yang artinya the act of lending money at exorbitant or illegal rate of interest (Wirdyaningsih, 2005: 25). Definisi lain dalam Oxford English Dictionary diartikan sebagai the fact or practice of lending money at interest; especially in later use, the practice of charging, taking or contracting to receive, excessive or illegal rate of interest for money for loan. Dalam the Legal Encyclopedia for Home and Business didefinisikan sebagai an excess over the legal rate charged the borrower for the use of money (Tim Pengembangan Bank Syari’ah, 2001: 37).
Dalam sejarah ekonomi Eropa dibedakan antara “ usury ” dan “ interest ”. Usury didefinisikan sebagai kegiatan meminjamkan uang “ where more is asked than is given ”. Kata “ usury ” berasal dari bahasa Latin “usura” yang berarti “ use ” berarti menggunakan sesuatu. Dengan demikian, usury adalah harga yang harus dibayar untuk menggunakan uang. Sedangkan kata “ interest ” berasal dari bahasa Latin “ intereo ” yang berarti untuk kehilangan “ to be lost ”. Sebagian lain mengatakan bahwa interest berasal dari bahasa Latin “ interesee ” yang berarti datang di tengah ( to come in between ) yaitu kompensasi kerugian yang muncul di tengah transaksi jika peminjam tidak mengembalikan sesuai waktu ( compensation or penalty for delayed repayment of a loan ). Pada perkembangan selanjutnya, “interest” bukan saja diartikan sebagai ganti rugi akibat keterlambatan pembayaran hutang, tetapi diartikan juga sebagai ganti rugi atas kesempatan yang hilang ( opportunity loss) (Rivai’, dkk, 2007: 762; Karim, 2007: 42). Dari definisi ini, terlihat jelas bahwa " interest " dan " usury " yang kita kenal saat ini pada hakikatnya adalah sama. Keduanya berarti tambahan uang, umumnya dalam prosentase. Istilah" usury " muncul karena belum mapannya pasar keuangan pada zaman itu sehingga penguasa harus menetapkan suatu tingkat bunga yang dianggap "wajar". Namun setelah mapannya lembaga dan pasar keuangan, kedua istilah itu menjadi hilang karena hanya ada satu tingkat bunga di pasar sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran.
c. Kritik Terhadap Teori-Teori Bunga Dalam sistem ekonomi kapitalis, bunga merupakan unsur yang sangat penting. Bahkan dapat dikatakan bahwa darah perekonomian sistem kapitalis adalah bunga. Namun ternyata, berbagai teori bunga tidak mampu menjelaskan secara pasti apakah bunga diperlukan dalam suatu perekonomian atau apakah bunga berperan mendorong investasi nyata dan bukan mendorong untuk berspekulasi. Untuk itu perlu dilakukan analisis secara mendalam terhadap teori- teori bunga.
menahan nafsu ( abstinence ). Menurutnya, tindakan menahan nafsu ini merupakan tindakan untuk tidak mengkonsumsi atau melakukan kegiatan produksi sehingga jika seseorang meminjam uang kepada orang lain, maka ia harus membayar sewa atas uang yang dipinjamnya (Antonio, 2001: 69). Teori ini dikritik dengan alasan bahwa penderitaan akibat pengorbanan "tahan nafsu" berbeda menurut tingkat pendapatan penabung. Atau dapat saja penabung tidak memilih untuk meminjamkan uangnya agar tabungannya tetap likuid. Dengan demikian tidak ada alasan baginya untuk mendapat bunga (Tim Pengembangan Bank Syari’ah, 2001: 42). Pandangan Marshall sebagai pelopor teori bunga produktivitas berbeda dengan pendahulunya. Teori ini memperlakukan produktivitas sebagai suatu kekayaan yang terkandung dalam kapital dan produktivitas kapital tersebut dipengaruhi oleh suku bunga. Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh interaksi kurva penawaran dan permintaan tabungan. Jika penawaran tabungan lebih besar dari permintaan tabungan, maka suku bunga akan turun dan investasi akan meningkat. Sebaliknya, jika permintaan tabungan lebih besar dari penawaran tabungan, maka suku bunga akan naik dan investasi akan turun (Muhammad, 2001: 13). Kritik terhadap Smith, Ricardo dan Senior dapat juga dipakai untuk menunjukkan kelemahan teori Marshall. Sekarang disadari bahwa yang menjamin keseimbangan antara tabungan dan investasi adalah tingkat pendapatan, bukan suku bunga. Perubahan tingkat suku bunga pengaruhnya sangat kecil terhadap tabungan. Peningkatan atas tabungan tidak selalu diikuti oleh peningkatan atas investasi atau dapat dikatakan bahwa investasi tidak dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat suku bunga. Hal ini bisa dibuktikan bahwa dalam kondisi depresi, misalnya, meskipun terjadi penurunan tingkat suku bunga, tetapi fakta menunjukkan bahwa investasi tidak meningkat. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa tingkat suku bunga ditentukan oleh produktivitas kapital adalah alasan yang berputar-putar karena produktivitas kapital itu sendiri ditentukan oleh tingkat suku bunga (Tim Pengembangan Bank Syari’ah: 42).
Sementara Bohm Bawerk telah mengembangkan teori bunga yang mirip dengan teori yang dikembangkan oleh Senior. Pelopor teori bunga Austria atau time preference theory ini berpendapat bahwa produktivitas marginal barang sekarang lebih tinggi daripada produktivitas marginal barang untuk masa yang akan datang. Teori ini digeneralisasi atas dasar pandangan psikologis yang sangat subyektif sehingga membuat pemahaman akan teori bunga menjadi salah kaprah. Pertama , sebagian besar masyarakat menabung bukan atas pertimbangan agar tabungannya pada masa mendatang akan lebih banyak dibanding dengan waktu sekarang, melainkan untuk tujuan tertentu, seperti sekolah, perkawinan, masa pensiun, dan sebagainya. Kedua , masyarakat menengah ke atas melakukan pemupukan kekayaan dengan tujuan untuk prestise dan kedudukan sosial, jadi bukan karena produktivitas marginal barang sekarang lebih tinggi daripada barang untuk masa yang akan datang (Tim Pengembangan Bank Syari’ah: 43). Dari uraian di atas menunjukkan bahwa tidak ada satupun teori bunga murni yang mampu menjelaskan dan membuktikan bahwa bunga diperlukan dalam suatu aktivitas ekonomi. Sebagian orang kemudian berpaling ke teori bunga moneter untuk mencoba menjelaskan bagaimana penentuan tingkat bunga meskipun mereka tidak memiliki dasar yang kuat tentang definisi bunga itu sendiri. Sedangkan pandangan kelompok teori kedua, yaitu teori Bunga Moneter, diantaranya adalah Lerner yang menggagas the loanable funds theory. Teori ini berangkat dari konsep bunga yang berasal dari tabungan dan investasi. Teori ini berpandangan bahwa bunga ditentukan oleh interaksi penawaran dan permintaan akan dana pinjaman. Sedangkan teori bunga Keynes berpendapat bahwa tingkat bunga ditentukan oleh permintaan dan penawaran akan uang. Oleh karena itu, Keynesian meyakini bahwa tabungan dan investasi selalu sama nilainya (seimbang). Aliran pertama tidak sependapat dengan hal ini. Menurutnya, mengasumsikan tabungan yang direncanakan akan selalu sama dengan investasi yang direncanakan adalah tidak berdasar. Menurut mereka, suku bunga ditentukan oleh harga kredit dan karena itu diatur oleh interaksi penawaran dan permintaan
e. Kontroversi Seputar Riba dan Bunga Bank Polemik ulama seputar bunga bank tidak bisa dilepaskan dari persoalan dasar hukum Islam pada bidang mu'amalat dimana pengaturannya oleh nash dilakukan secara umum, tidak dijelaskan secara rinci, berbeda dengan persoalan ibadah dan aqaid. Di samping itu, persoalan intinya terletak pada perbedaan dalam menentukan 'illat hukum seputar riba. Sebagian ulama memakai " ziyadah " (tambahan) dan sebagian ulama yang lain memakai " dzulm " (kemudlaratan). Setidaknya, terdapat dua pandangan kelompok ulama yang sangat concern mencermati status bunga bank ini, yaitu kelompok Neo-Revivalisme dan modernis. Neo-Revivalisme merupakan suatu gerakan yang ingin mengangkat relevansi ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat saat ini, serta berusaha menunjukkan kekuatan Islam di mata dunia Barat. Neo-Revivalisme dianggap sebagai gerakan yang bertendensi tekstual karena cenderung melihat persoalan riba (bunga bank) dari sisi harfiahnya saja, tanpa melihat apa yang dipraktekkan dalam periode pra-Islam (Saeed, 1996: 49). Gerakan ini muncul pada paruh pertama abad ke-20 yang merupakan kelanjutan dari gerakan kebangkitan Islam yang muncul abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Munculnya gerakan ini sebagai reaksi gelombang sekulerisasi yang melanda Islam. Mereka memandang bahwa kebudayaan Barat sebagai penyebab dekadensi moral dan gaya hidup materialistis. Untuk itu, umat Islam tidak perlu sama sekali menolak Islam dan menerima nilai-nilai, ide-ide dan sistem peradaban Barat. Mereka meyakini Islam sebagai agama yang memiliki peradaban yang cemerlang (Saeed, 1996: 7).
Sementara kelompok kedua adalah kelompok modernis. Kelompok ini menekankan pentingnya melakukan penyegaran pemikiran Islam dengan cara membangkitkan kembali gelombang ijtihad yang digunakan sebagai sarana untuk memperoleh ide-ide yang relevan dari al-Qur'an dan as-Sunnah serta berusaha memformulasikan kebutuhan hukum. Secara lebih rinci, Iqbal dalam Saeed (1996:7) mengidentifikasi ada 5 ciri modernis, yaitu (1) selektif dalam menggunakan sunnah; (2) mengembangkan pola berpikir sistematis dengan menghilangkan anggapan yang memutuskan tentang berakhirnya aktivitas hasil berpikir; (3) membuat perbedaan antara syari'ah dan fiqh; (4) menghindari paham yang menonjolkan sektarian, dan (5) mengubah karakteristik metode berpikir. Berdasarkan ciri-ciri di atas, kalangan modernis seperti Fazlur Rahman, Muhammad Asad, Said an-Najjar dan Abd al-Mun'im an-Namir lebih menekankan pada aspek moral dalam memahami pelarangan riba dan mengesampingkan legal formal riba itu sendiri. Pemahaman rasional terhadap larangan riba terletak pada ketidakadilan sebagai alasan diharamkan riba sesuai dengan statemen al-Qur'an " La tadzlimun wa la tudzlamun ", maka dari itu riba dibedakan dengan bunga bank. Kelompok ini juga mendasarkan pendapatnya para ulama klasik, seperti ar-razi, Ibn al-Qayyim dan Ibn Taimiyah bahwa larangan riba berkaitan dengan aspek moral mengacu pada praktek riba pada masa pra- Islam (Saeed, 1996: 41). Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya penyebab dilarangnya riba karena mengandung unsur eksploitasi terhadap kaum fakir miskin, bukan faktor bunganya. Eksploitasi ini dilakukan melalui bentuk pinjaman yang berusaha mengambil keuntungan dari nilai pinjaman tersebut yang mengakibatkan kesengsaraan kelompok lain. Beberapa pandangan modernis tentang bunga bank adalah dibolehkan menurut Muslim (2005: 148) disebabkan antara lain: a. Adanya hajat dan dharurah dalam kehidupan perekonomian, sebagaimana pendapat Sanhuri. b. Ada perbedaan antara pinjaman konsumtif dengan pinjaman produktif, Jika pinjaman produktif maka dibolehkan tetapi jika pinjaman konsumtif, maka tidak dibolehkan, sebagaimana dikatakan Doulibi.
c. Ada perbedaan antara riba ( usury ) dengan bunga ( interest ). Dalam pandangan ini yang diharamkan adalah riba, bukan bunga bank ( interest ), sebagaimana pandangan Hafni Nasif dan Abdul Aziz Jawish. d. Adanya inflationary economic dalam mekanisme perekonomian, sehingga naiknya suku bunga akan mengoreksi kerugian yang diderita kreditur yang disebabkan oleh adanya inflasi, sebagaimana dikatakan Syauqi Dunya. Dari uraian tersebut, tampaknya perdebatan seputar hukum bunga bank yang terkait dengan masalah riba belum akan berakhir. Bahkan kedua pendapat yang saling bertolak belakang antara modernis dan Neo-Revivalisme tersebut tidak mungkin saling bertemu karena masing-masing kelompok melihat dari sudut pandang dan pendekatan yang berbeda. Kelompok yang mensejajarkan bunga dengan riba cenderung dalam mendekati permasalahan dari sisi legal formal atau meminjam istilah Minhaji (1999:16-17) "doktriner-normatif-deduktif". Menurutnya, untuk menjawab berbagai persoalan yang muncul, ushul fiqh sebagai ilmu yang berkompeten dalam bidang ini, mengenal dua model pendekatan, yaitu doktriner-normatif- deduktif dan empiris-historis-induktif. Dalam beberapa kasus hukum tertentu, untuk memahami al-Qur'an, as-Sunnah dan hubungan keduanya, ijma', ijtihad dan proses-proses yang mengitarinya diperlukan kombinasi kedua model pendekatan tersebut sekaligus. Hal ini bisa dilihat dari pembahasan mereka yang hanya mengutamakan nash, teks dan kurang memperhatikan aspek objektif keberadaan perbankan sebagai penghimpun dan penyalur dana ( financial intermediary ) yang berpengaruh besar terhadap ekonomi dan sosial. Di lain pihak, kelompok yang mendukung halalnya bunga bank, mendekati persoalan ini lebih menekankan pada sisi objektif keberadaan perbankan, meminjam istilah Minhaji "empiris-historis-induktif". Meskipun demikian kelompok ini tidak mengabaikan sama sekali aspek nash. Nash, mereka tempatkan pada posisi ideal-moral yang tetap menjiwai produk hukum yang dihasilkannya (Rahmi, 2001: 150).