Docsity
Docsity

Prepare for your exams
Prepare for your exams

Study with the several resources on Docsity


Earn points to download
Earn points to download

Earn points by helping other students or get them with a premium plan


Guidelines and tips
Guidelines and tips

REVIEW ARTICLE MIGRAINE DISEASE, Papers of Neurology

MIGRAINE DISEASE COMPLICATED MIGRAINE Kadek Putri Paramita Abyuda, Shahdevi Nandar Kurniawan

Typology: Papers

2021/2022

Uploaded on 01/29/2022

mutiara-fadilah
mutiara-fadilah 🇮🇩

1 document

1 / 6

Toggle sidebar

This page cannot be seen from the preview

Don't miss anything!

bg1
Page 28 of 6
REVIEW ARTICLE
Abyuda KPP et al., JPHV 2021;2
DOI: 10.21776/ub.jphv.2021.002.02.2
COMPLICATED MIGRAINE
Kadek Putri Paramita Abyuda1, Shahdevi Nandar Kurniawan2
1Medical Profession Study Program, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Malang, Indonesia
2Department of Neurology, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Malang, Indonesia
Correspondence : shahdevinandar@ub.ac.id
Abstract
Migraine is a chronic paroxysmal neurological disease characterized by attacks of moderate or severe headache accompanied by
reversible neurologic and systemic symptoms. Although not life threatening, migraine can cause disability in the productive
population. Migraine sufferers generally have a family history of migraine so that migraine is considered a genetic disease.
Endogenous psychological factors such as stress or fatigue are the main triggers for migraine. Migraine pathophysiology involves
various parts of the brain so that migraine symptoms are complex. Management of acute migraine can be done pharmacologically
and non-pharmacologically. Migraine preventive management is needed if the patient has a chronic migraine or does not respond to
abortive treatment.
Keyword : Migraine, aura, prodromal, trigeminovascular system
PENDAHULUAN
Migrain adalah penyakit nyeri kepala neurovaskular yang
umum terjadi dan bersifat multifaktor, berulang, herediter,
dan menimbulkan disabilitas pada 15% populasi produktif.
Migrain paling banyak menyerang populasi berusia 22 hingga
55 tahun1. Berdasarkan World Health Organization (WHO),
migrain merupakan penyebab keenam terjadinya disabilitas
secara global. Meskipun tidak mengancam nyawa, tingkat
keparahan dan frekuensi serangan dapat menyebabkan
disabilitas dan penurunan kualitas hidup, bahkan pada fase di
mana tidak terjadi serangan2. Migrain lebih sering terjadi
pada wanita dibandingkan pria, dengan rasio 3:1. Migrain
umum menurun pada keluarga sehingga dapat dikategorikan
sebagai penyakit genetik (1).
DEFINISI
Migrain adalah penyakit neurologis kronis paroksismal yang
ditandai dengan serangan nyeri kepala sedang atau berat
disertai dengan gejala neurologis dan sistemik reversibel.
Gejala yang sering tampak pada migrain antara lain fotofobia,
fonofobia, dan gejala gastrointestinal seperti mual dan
muntah. Istilah migrain refrakter digunakan untuk
mendefinisikan nyeri kepala persisten yang sulit ditangani
atau tidak berespon dengan pemberian terapi standar dan/atau
agresif (3).
PREVALENSI
Migrain terjadi pada 17,6% wanita dan 5,7% pria. Insiden
migrain tertinggi didapatkan pada usia 15 hingga 24 tahun,
dengan puncaknya pada usia 20-24 tahun pada wanita dan
15-19 tahun pada pria. Sejumlah 90% serangan pertama
terjadi sebelum usia 40 tahun. Prevalensi tertinggi
didapatkkan pada usia 35 hingga 45 tahun. Pada dewasa
berusia 18 hingga 59 tahun, prevalensi migrain diperkirakan
sejumlah 17 hingga 21% bergantung pada kriteria diagnosis
yang digunakan: strict migraine 8-11% dan probable
migraine 9-10% (2,4,5).
Sekitar 70% penderita migrain mengalami serangan migrain
tanpa aura (common migrain) dan 20% mengalami migrain
dengan aura (classical atau focal migrain). Prevalensi
migrain dengan aura meningkat seiring dengan usia, terjadi
pada 13% serangan migrain pada penderita berusia 18-29
tahun, 20,1% pada penderita berusia 40-49 tahun, dan 41%
penderita berusia 70% atau lebih (2,4,5).
ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO
Pada penderita migrain, terjadi peningkatan sensitivitas otak
yang berlebihan, yaitu peningkatan sensitivitas terhadap
cahaya, suara, Gerakan, penciuman, atau stimuli sensori
lainnya selama periode tanpa nyeri. Hipersensitivitas ini
dipercaya diinduksi oleh respon korteks dan brainstem,
menyebabkan terjadinya habituasi defektif (4).
Migrain dapat dipicu oleh beberapa factor: stres emosional
(80%), hormon pada perempuan (65%), tidak makan (57%),
cuaca (53%), gangguan tidur (50%), bau-bauan (44%), nyeri
leher (38%), cahaya (38%), alkohol (38%), asap rokok
(36%), tidur larut (32%), panas (30%), makanan (27%),
olahraga (22%), aktivitas seksual (5%).
Article History:
Received: August 16, 2021; Accepted: August 31, 2021; Published: : September 1, 2021
Cite As:
Abyuda KPP , Kurniawak SK. Complicated migraine. Journal of Pain, Vertigo and Headache; 2021.2:28-33
pf3
pf4
pf5

Partial preview of the text

Download REVIEW ARTICLE MIGRAINE DISEASE and more Papers Neurology in PDF only on Docsity!

Page 28 of 6 REVIEW ARTICLE Abyuda KPP et al., JPHV 2021 ; 2 DOI: 10.21776/ub.jphv.2021.002.02.

COMPLICATED MIGRAINE

Kadek Putri Paramita Abyuda^1 , Shahdevi Nandar Kurniawan^2

(^1) Medical Profession Study Program, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Malang, Indonesia (^2) Department of Neurology, Faculty of Medicine, Brawijaya University, Malang, Indonesia Correspondence : shahdevinandar@ub.ac.id Abstract Migraine is a chronic paroxysmal neurological disease characterized by attacks of moderate or severe headache accompanied by reversible neurologic and systemic symptoms. Although not life threatening, migraine can cause disability in the productive population. Migraine sufferers generally have a family history of migraine so that migraine is considered a genetic disease. Endogenous psychological factors such as stress or fatigue are the main triggers for migraine. Migraine pathophysiology involves various parts of the brain so that migraine symptoms are complex. Management of acute migraine can be done pharmacologically and non-pharmacologically. Migraine preventive management is needed if the patient has a chronic migraine or does not respond to abortive treatment. Keyword : Migraine, aura, prodromal, trigeminovascular system

PENDAHULUAN

Migrain adalah penyakit nyeri kepala neurovaskular yang umum terjadi dan bersifat multifaktor, berulang, herediter, dan menimbulkan disabilitas pada 15% populasi produktif. Migrain paling banyak menyerang populasi berusia 22 hingga 55 tahun1. Berdasarkan World Health Organization (WHO), migrain merupakan penyebab keenam terjadinya disabilitas secara global. Meskipun tidak mengancam nyawa, tingkat keparahan dan frekuensi serangan dapat menyebabkan disabilitas dan penurunan kualitas hidup, bahkan pada fase di mana tidak terjadi serangan2. Migrain lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria, dengan rasio 3:1. Migrain umum menurun pada keluarga sehingga dapat dikategorikan sebagai penyakit genetik (1).

DEFINISI

Migrain adalah penyakit neurologis kronis paroksismal yang ditandai dengan serangan nyeri kepala sedang atau berat disertai dengan gejala neurologis dan sistemik reversibel. Gejala yang sering tampak pada migrain antara lain fotofobia, fonofobia, dan gejala gastrointestinal seperti mual dan muntah. Istilah migrain refrakter digunakan untuk mendefinisikan nyeri kepala persisten yang sulit ditangani atau tidak berespon dengan pemberian terapi standar dan/atau agresif (3).

PREVALENSI

Migrain terjadi pada 17,6% wanita dan 5,7% pria. Insiden migrain tertinggi didapatkan pada usia 15 hingga 24 tahun, dengan puncaknya pada usia 20-24 tahun pada wanita dan 15 - 19 tahun pada pria. Sejumlah 90% serangan pertama terjadi sebelum usia 40 tahun. Prevalensi tertinggi didapatkkan pada usia 35 hingga 45 tahun. Pada dewasa berusia 18 hingga 59 tahun, prevalensi migrain diperkirakan sejumlah 17 hingga 21% bergantung pada kriteria diagnosis yang digunakan: strict migraine 8 - 11% dan probable migraine 9 - 10% (2,4,5). Sekitar 70% penderita migrain mengalami serangan migrain tanpa aura ( common migrain ) dan 20% mengalami migrain dengan aura ( classical atau focal migrain ). Prevalensi migrain dengan aura meningkat seiring dengan usia, terjadi pada 13% serangan migrain pada penderita berusia 18- 29 tahun, 20,1% pada penderita berusia 40-49 tahun, dan 41% penderita berusia 70% atau lebih (2,4,5).

ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Pada penderita migrain, terjadi peningkatan sensitivitas otak yang berlebihan, yaitu peningkatan sensitivitas terhadap cahaya, suara, Gerakan, penciuman, atau stimuli sensori lainnya selama periode tanpa nyeri. Hipersensitivitas ini dipercaya diinduksi oleh respon korteks dan brainstem, menyebabkan terjadinya habituasi defektif (4). Migrain dapat dipicu oleh beberapa factor: stres emosional (80%), hormon pada perempuan (65%), tidak makan (57%), cuaca (53%), gangguan tidur (50%), bau-bauan (44%), nyeri leher (38%), cahaya (38%), alkohol (38%), asap rokok (36%), tidur larut (32%), panas (30%), makanan (27%), olahraga (22%), aktivitas seksual (5%). Article History: Received: August 16, 2021 ; Accepted: August 31, 2021 ; Published: : September 1, 2021 Cite As: Abyuda KPP , Kurniawak SK. Complicated migraine. Journal of Pain, Vertigo and Headache; 2021.2: 28 - 33

Penderita dengan aura mengalami lebih banyak pemicu dibandingkan dengan penderita tanpa aura. Menstruasi merupakan penyebab utama terjadinya migrain berulang dan persisten (4).

PATOFISIOLOGI

Migrain disebabkan oleh gangguan jaringan otak yang kompleks dengan riwayat genetik yang kuat melibatkan bagian korteks, subkorteks, dan brainstem yang mempengaruhi terjadinya nyeri dan gejala lainnya (6). Organ otak umumnya tidak dapat merasakan sensasi, namun terdapat beberapa struktur otak yang sangat sensitive terhadap nyeri, seperti duramater, bagian intracranial trigeminal, saraf vagus dan glossofaringeal, dan bagian proksimal dari pembuluh intracranial yaitu cabang basilar, vertebral, dan carotid (4). Pada Sebagian besar kasus, migrain terjadi diawali pada bagian sentral otak pada area otak yang dapat menyebabkan timbulnya gejala prodromal neurologis klasik dan aura, kemudian nyeri kepala akan terjadi setelah aktivasi dari nosiseptor meningeal pada sistem trigeminofaskular (1). Terdapat beberapa hipotesis mengenai patofisiologi migrain. Hipotesis vaskular oleh Harold Wolff merupakan hipotesis yang berkembang dan mendominasi hingga tahun 1980an. Teori ini mengasumsikan bahwa aura pada migrain terjadi akibat hipoksemia yang diinduksi vasokonstriksi yang bersifat transien, dan nyeri kepala disebabkan oleh rebound vasodilasi yang memicu terjadinya depolarisasi mekanik neuron nosiseptif primer pada dinding vascular intra dan ekstraserebral. Teori ini kemudian dibantah setelah Olesen dkk menemukan bahwa nyeri pada migrain dengan aura terjadi pada kondisi hipoperfusi setelah terjadinya hyperperfusi pada aura. Angiografi menunjukkan adanya vasodilatasi pada arteri intra dan ekstraserebral selama serangan, spesifik pada sisi yang mengalami nyeri kepala. Tatalaksana dengan sumatriptan menyebabkan terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh ekstraserebral (4). Patofisiologi migrain diduga melibatkan sistem kompleks trigeminovaskular (TCC). TCC merupakan organ utama yang berperan dalam memicu terhadinya nyeri kepala pada migrain. Sistem ini terdiri nucleus caudalis trigeminal, radiks posterior segmen C1-C2 dari saraf spinal (6). Patofisiologi migrain diperkirakan melibatkan aktivasi sistem TCC melalui depolarisasi neuron pseudounipolar yang menjalar dari ganglion trigeminal yang menginervasi struktur meningeal dan vascular serebral, menyebabkan aktivasi dari neuron second-order pada nucleus caudalis trigeminal (TNC) di medulla brainstem dan radiks posterior segmen saraf spinal servikal bagian atas. Stimulasi dari neuron first-order nosiseptif trigeminal menyebabkan terjadinya aktivasi pola somatotopic pada aksis rostrocaudal brainstem. Neuron second-order pada TNC dan radiks posterior servikal diregulasi oleh nucleus raphe magnus , periaqueductal gray (PAG), trigeminal nuclei rostral, dan sistem inhibitor cortical descending, meluas hingga nuclei dorsomedial dan ventroposteromedial thalamus. Nyeri trigeminal juga dikaitkan dengan aktivasi beberapa area kortikal, yaitu area insular korteks, korteks cingulatum anterior, dan korteks somatosensory (4). Akson perifer ganglion trigeminal melepaskan calcitonin gene-related peptide (CGRP) pada TCC (6). CGRP adalah neuropeptida yang diekspresikan pada neuron perifer dan sentral dan berperan sebagai dilatator arteriolar cerebral yang poten dan modulator sirkuit nyeri sentral dan perifer. Pada neuron second-order dan third-order, CGRP memainkan peran penting dalam regulasi mekanisme nyeri sentral. Peningkatan CGRP pada penderita migrain diduga terkait dengan penurunan mekanisme inhibitor descending, menyebabkan sensitisasi sirkuit neuronal sentral multiple, meningkatkan kerentanan terhadap migrain (6). Thalamus merupakan jalur nosiseptif dimana input dari duramater dan area kutaneus dihantarkan melalui neuron second-order trigeminovascular. Thalamus merupakan area sentral untuk memproses dan mengintegrasikan stimuli nyeri, serta berhubungan dengan berbagai area korteks, seperti korteks somatosensory, motor, visual, auditori, olfaktori, dan limbik. Hal ini menjelaskan kompleksitas pada gejala migrain. Thalamus merupakan area pivotal dari terjadinya hipersensitivitas sensoris terhadap stimuli visual dan allodynia (6). Hipotalamus merupakan bagian otak yang memiliki koneksi langsung dan tidak langsung terhadap thalamus, neuron trigeminovaskular, dan nuclei simpatik dan parasimpatik. Penelitian menggunakan positron emission tomography menunjukkan adanya aktivasi hipotalamik selama serangan nyeri kepala pada migrain selama 24 jam serangan dan fase iktal, disertai dengan gangguan konektivitas fungsional antara hypothalamus dan area pada brainstem (6). Pada pemeriksaan menggunakan positron emission tomography (PET), didapatkan adanya peningkatan aliran darah pada hypothalamus selama fase awal serangan migrain spontan dan selama fase premonitory^7. Keterlibatan hypothalamus pada migrain menjelaskan terjadinya gejala pada awal fase iktal dan bertahan sepanjang serangan berlangsung^6. Adanya gangguan pada hipotalamus menimbulkan gejala seperti perubahan mood, ngidam makanan, menguap, dan kelelahan (1,6). Onset migrain diduga terkait dengan jam biologis dan ritme sirkardian yang diatur oleh hipotalamus karena terjadi secara harian, bulanan, atau menyesuaikan dengan pola musim, atau siklus menstruasi pada wanita. Gangguan fisiologi tidur-bangun sebagai pemicu terjadinya migrain memperkuat dugaan keterlibatan hypothalamus. Mekanisme dopaminergic diduga memainkan peran, menyebabkan timbulnya gejala menguap pada penderita migrain (7). Studi dengan MRI menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara aktivitas hipotalamus dan kortikal selama fase premonitory. Keterlibatan korteks oksipital, berupa hipereaktivitas, pada migrain menyebabkan timbulnya fenomena aura visual. Imaging menggunakan PET pada penderita migrain dengan fotofobia menunjukkan adanya hipereksitabilitas pada korteks visual. Terjadinya hipereksitabilitas pada korteks terkait dengan adanya disritmia thalamocortical. Terapi dengan TMS single-pulse dapat menekan aktivasi jalur trigemino-thalamic sehingga dapat digunakan sebagai tatalaksana migrain fase akut dan preventif (7). Teori lain mengenai patofisiologi migrain adalah teori neurogenic, di mana migrain adalah gangguan otak yang melibatkan perubahan vascular akibat aktivitas neuronal abnormal. Cortical spreading depression (CSD) merupakan

migrain dengan nyeri kepala lainnya. CT scan atau MRI direkomendasikan pada penderita yang menderita serangan pertama pada usia 50 tahun ke atas, penderita yang mengalami aura atipikal: onset mendadak, berlangsung lebih dari 1 jam, terjadi pada sisi yang sama berulang kali, dan/atau tanpa gejala visual, serta pada penderita dengan hasil pemeriksaan klinis abnormal. Pemeriksaan CT scan maupun MRI sebaiknya tidak dilakukan menggunakan kontras apabila terjadi nyeri kepala abnormal. Pemeriksaan EEG tidak perlu dilakukan untuk menyingkirkan nyeri kepala sekunder, pemeriksaan radiologi jauh lebih direkomendasikan (5).

DIAGNOSIS

Tabel 1. Kriteria Aura (5) Kriteria Aura Setidaknya 3 dari:

  1. setidaknya satu gejala aura berkembang secara bertahap selama ≥5 menit
  2. minimal dua gejala aura terjadi secara berurutan
  3. setiap gejala aura bertahan hingga 5-60 menit
  4. setidaknya satu gejala aura bersifat unilateral
  5. setidaknya satu gejala aura positif
  6. aura disertai, atau dalam jangka waktu 60 menit mengalami, nyeri kepala Kriteria diagnosis migrain dapat ditegakkan menggunakan kriteria yang ditentukan oleh International Headache Society (IHS) pada tahun 2013 (10). Tabel 2. Kriteria Diagnosis Migrain (5) Kriteria Diagnosis Migrain Tanpa Aura (ICHD-3 Beta) A. Paling tidak 5 serangan yang memenuhi kriteria B sampai D B. Nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (baik dalam kondisi sudah diobati atau belum diobati namun belum berhasil C. Nyeri kepala memiliki minimal dua diantara karakteristik berikut
  7. Unilateral
  8. Kualitas Berdenyut
  9. Intensitas Sedang- Berat
  10. Diperberat dengan aktivitas fisik rutin maupun tidak rutin (seperti berjalan jauh, atau naik tangga) D. Terdapat salah satu gejala penyerta dibawah ini :
  11. Mual muntah
  12. Fotofobia dan fonofobia E. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan penyakit lain. Kriteria Diagnosis Migrain Dengan Aura (ICHD-3 Beta) A. Paling tidak 2 serangan yang memenuhi kriteria B dan C B. Terdapat 1 atau lebih aura tipikal yang reversibel meliputi: aura visual, sensori, bicara, motoric, braistem. C. Nyeri kepala memiliki minimal dua diantara 4 karakteristik berikut
  13. Adanya aura yang menyebar dalam waktu ≥ 5 menit
  14. Gejala aura berlangsung 5 - 60 menit
  15. Seridaknya 1 gejala aura bersifat unilateral
  16. Aura diikiuti dengan nyeri kepala dalam watu 60 menit D. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan diagnosis ICHD- 3 yang lain dan Transient ischemic attack telah tereklusi. Diagnosis migrain ditentukan berdasarkan trias gejala: 1) nyeri kepala berulang tiap serangan, 2) karakteristik tipikal, 3) pemeriksaan klinis normal (5). Mnemonic POUND digunakan untuk membantu diagnosis migrain: Pulsatile (berdenyut), One-day duration (durasi 1 hari, 4-72 jam), Unilateral, Nausea atau vomiting (mual muntah), Disabling intensity (intensitas sedang-berat mengganggu aktivitas) (9). Berdasarkan kriteria International Classification of Headache Disorders (ICHD), aura didefinisikan sebagai gejala visual, sensori, atau gejala sistem saraf pusat lain yang bersifat reversibel, dan berkembang secara bertahap pada serangan migrain. Aura dapat berupa gangguan visual, sensori, wicara dan/atau Bahasa, motor, brainstem, dan retinal. Aura tipikal berupa aura visual, sensori, wicara dan/atau Bahasa (5).

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding migrain dijabarkan pada Tabel 3. Tabel 3. Diagnosis Banding Migrain (5) Diagnosis Gejala Glaucoma akut Pandangan mata kabur, mual, muntah, halo, kelipan cahaya Benign intracranial hypertension Onset mendadak, mual muntah, pusing, pandangan kabur, papilledema, palsy saraf V1 diperberat dengan batuk, mengejan, perubahan posisi. Diseksi Karotid spontan atau disebabkan trauma minor atau pergerakan leher mendadak, nyeri kepala unilateral atau nyeri wajah, Horner syndrome ipsilateral Cluster headache Tidak umum, onset mendadak, durasi menit hingga jam, berulang dalam beberapa minggu, dapat menghilang selama bulanan atau tahunan, lakrimasi unilateral, kongesti nasal, nyeri periorbital unilateral berat, umum pada pria, penderita resah selama episode berlangsung Sinusitis Frontal Memburuk Ketika berbaring, kongesti nasal, nyeri pada sinus Nyeri diinduksi obat disebabkan terapi hormone, kontrasepsi hormonal, rebound analgesic Sindrome postconcussion Trauma kepala sebelumnya, vertigo, lightheadedness, gangguan konsentrasi dan memori, kurangnya energi, iritabel, kecemasan Tension-type headache Umum terjadi, durasi 30 menit hingga 7 jam, bilateral, tidak berdenyut, intensitas ringan-sedang, tidak mengganggu aktivitas, tanpa mual muntah Trigeminal neuralgia Episode singkat dari nyeri tajam seperti ditusuk pada distribusi saraf trigeminal

MIGRAIN KOMPLIKATA

Migrain komplikata adalah migrain dengan gejala neurologis fokal yang tidak termasuk dalam gejala aura saat serangan migrain. Terdapat 4 subtipe: migrain dengan aura, migrain basilar. Migrain hemiplegik, dan migrain retinal (10). Migrain hemiplegik ditandai dengan gejala visual, sensoris, motor, afasik, dan tipe basilar yang berkembang secara bertahap dalam 20-30 menit disertai nyeri kepala. Gejala sensoris positif dan negative terjadi dalam distribusi “cheiro- oral”. Pada Familial Hemiplegic Migrain terjadi mutasi dari ion transporter gen meliputi CACNA1A, ATP1A2, and SCN1A yang mengkode voltage gated calcium channel , pompa neuronal sodium-potassium, dan neuronal voltage- gated sodium channel, yang merupakan penyebab fenotipe pada familial hemiplegic migrain phenotype. Terbagi menjadi FHM1, FHM2, and FHM3. Untuk terapi migrain hemiplegik, ketamine intranasal dan verapamil merupakan lini pertama. Profilaksis yang dapat digunakan antara lain

verapamil, lamotrigine, sodium valproate, dan acetazolamide (10). Migrain basilar adalah migrain yang disertai dengan disfungsi brainstem: vertigo nonposisional, diplopia, disartria, kadang dengan gangguan kesadaran ringan hingga berat. Dapat disertai dengan hypacusis , tinitus, paresthesia bilateral. Migrain basilar diduga disebabkan oleh vasospasme arteri basilar dan disfungsi ARAS. Lamotrigine dapat digunakan untuk tatalaksana migrain basilar (10). Pada migrain retinal, terjadi gangguan visual monokular: scintillation , scotoma, kebutaan yang bersifat transien. Diduga migrain retinal disebabkan oleh vasospasme retinal sehingga obat - obatan vasokonstriktif seperti triptan dan ergot sebaiknya dihindari. Nifedipin dapat digunakan sebagai agen preventif (10).

TATALAKSANA

Terapi migrain dapat dibagi menjadi tatalaksana akut dan preventif. Tatalaksana akut migrain dapat dibagi menjadi tatalaksana spesifik dan nonspesifik. Terapi nonspesifik migrain antara lain NSAID (naproxen, ibuprofen, ketoprofen, diclofenac), asam asetilsalisilat dikombinasikan dengan metocloperamide, dan parasetamol. Terapi migrain nonspesifik dapat digunakan untuk tatalaksana migrain intensitas ringan-sedang. Kombinasi aspirin, acetaminophen, dan caffeine merupakan tatalaksana lini pertama yang efektif dan bebas dari kontraindikasi vascular seperti triptan. Aspirin dikombinasi dengan metocloperamide dapat membantu meringankan gejala gastrointestinal (5,9). Terapi spesifik migrain antara lain triptan, ergotamine, dan dihydroergotamine. Triptan merupakan antagonis reseptor serotonin 5 - HT1B dan 5 - HT1D dan digunakan untuk tatalaksana migrain akut. Triptan efektif untuk menangani nyeri kepala, gejala gastrointestinal, fotofobia dan fonofobia (5,6,9). Beberapa obat baru dikembangkan untuk tatalaksana migrain akut. Antagonis reseptor CGRP, gepants, memiliki efek samping sistem saraf pusat dan vascular yang lebih ringan dibandingkan dengan triptan dan berisiko lebih rendah mengalami overuse. Ditans, antagonis reseptor 5 - HT1F, menghambat aktivasi sel nucleus caudalis trigeminal oleh stimulasi trigeminal. Penelitian RCT terhadap obat-obatan antagonis reseptor NMDA, ketamine, dapat pula ditargetkan sebagai target tatalaksana migrain dengan aura karena efeknya yang menurunkan tingkat keparahan aura (6). Terapi profilaksis dapat bermanfaat bagi penderita migrain dengan indikasi migrain kronik, adanya kontraindikasi atau intoleransi terhadap terapi abortif, nyeri kepala terjadi lebih dari dua hari per minggu atau yang menghambat kualitas hidup secara berat meskipun terapi abortif telah diberikan, adanya gejala migrain yang tidak umum (hemiplegik, aura yang berkepanjangan, migrain basilar, atau infark yang bersifat migrainous ). Untuk preventif, obat-obatan seperti beta bloker, antikonvulsan, antidepresan, dan modulator kanal kalsium terbukti efektif untuk mencegah terjadinya migrain (6,9). Gambar 2. Algoritma Tatalaksana Migrain (5). Nyeri kepala migrain Demam, gangguan kesadaran, meningismus YA Pemeriksaan meningitis atau perdarahan subarachnoid TIDAK  Onset akut  Lokasi occipitonuchal  >55 tahun  Pemeriksaan neurologis abnormal  Peningkatan frekuensi nyeri kepala  Gangguan koordinasi  Gejala neurologis local  Nyeri kepala hingga terbangun dari tidur  Gejala atipikal  Tidak sesuai definisi migrain YA Lakukan neuroimaging TID AK Singkirkan kemungkian penyakit yang serius INTENSITAS RINGAN-SEDANG Kombinasi acetaminophen/aspirin /caffeine atau NSAID; pertimbangkan senyawa isometheptene Respon buruk Lakukan tatalaksana intensitas sedang berat. INTENSITAS SEDANG-BERAT Triptan Respon buruk Tingkatkan dosis triptan/ganti triptan/pertimbangkan sumatriptan atau naproxen/pertimbangk an nasal spray DHE, senyawa isometheptene, atau lidokain intranasal DI IGD Pertimbangk an antiemetic intravena dengan/tanp a DHE intravena, pertimbangk an tambahan deksametaso n