

Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
Komunikasi kesehatan sangat penting dalam memahami relasi antara pasien dengan para tenaga medis
Typology: Essays (university)
1 / 2
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Judul buku: Health and Therapeutic Communication: An Intercultural Perspective Penulis: Deddy Mulyana Tanggal terbit: September, 2016 Penerbit: Rosda International (Remaja Rosda Karya) Tebal halaman: xxii + 290 hlm Mencegah “Wabah Tersembunyi” dari Kesalahan Komunikasi "Medical professionals must not treat their patients as clients in business terms; rather, they must treat them with empathy and compassion". HARUS diakui, relasi antara pasien dengan hampir semua profesional medis masih belum berada pada tataran ideal. Tenaga profesional medis ini bisa terentang dari dokter, perawat, direktur, manajer, maupun humas RS, pelayan apotek, asosiasi dokter, instansi di Kementerian Kesehatan, dsb. Dalam Perlindungan Hak-Hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik (2006), misalnya, Hendrojono Soewono menulis bahwa kendati secara yuridis formal hubungan antara dokter dengan pasien adalah hubungan antara dua pihak yang sederajat, tapi secara sosiopsikologis hubungan antarkeduanya belumlah berjalan seimbang. Perbedaan pengetahuan mengenai sehat-sakit dan posisi pasien sebagai orang yang membutuhkan bantuan dokter, menyebabkan pasien menjadi individu yang ada di bawah (subordinasi) dokter. Ketiadaan komunikasi yang setara antara profesional medis dengan pasien pada akhirnya kerap berujung pada situasi yang kontraproduktif pada kedua belah pihak. Terminologi “malapraktik” kerap mencuat ke permukaan, tanpa kesediaan masing-masing pihak -- baik pasien maupun dokter -- untuk paham dan mengakui secara utuh tanggung jawab dan hak-hak yang melekat. Fenomena ini tak hanya berlangsung di sini. Penelitian Annegret Hannawa, profesor komunikasi di University of Lugano, Swiss, menunjukkan hampir 98.000 pasien meninggal setiap tahun karena kesalahan medis yang sesungguhnya dapat dicegah (hal 33). Hannawa juga menulis bahwa meskipun sudah menjadi kewajiban hukum, mayoritas dokter gagal mengungkapkan kesalahan ini atau menguak dengan cara-cara yang tidak kompeten, sehingga berujung pada hasil yang berbahaya. Kesalahan medis ini kerap disebut sebagai “wabah tersembunyi” (hidden epidemic), ketika dokter, pasien, dan pegawai rumah sakit kerap bungkam atas kesalahan ini (Carmack, 2010). Kondisi inilah yang menjadi salah satu latar belakang yang ditulis dalam Buku Health and Therapeutic Communication: An Intercultural Perspective. Inilah buku termutakhir yang dihasilkan Guru Besar Komunikasi dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Deddy Mulyana dan ditulis dalam bahasa Inggris. Dalam buku ini juga dibahas berbagai kasus gugatan “malapraktik” profesional
kesehatan. Termasuk kasus “curhat berujung penjara” Prita Mulyasari yang kemudian menuai dukungan luas dan menjadi viral di media sosial. Boleh dibilang buku ini menjadi “magnum opus” sang guru besar komunikasi yang juga dikenal sebagai penulis buku dan kolumnis produktif ini. Dalam perbincangan dengan penulis, Deddy menyiapkan naskah buku ini dengan serius. Lebih dari sepuluh tahun dirinya melengkapi naskah buku ini dengan banyak referensi. Beberapa didapatkan di perpustakaan Technical University Ilmenau, Jerman (2005). Kemudian di Leiden University, Belanda (2005, 2006), Monash University, Australia (2009, 2011), dan Perpustakaan Nasional Singapura (2015. Selain mengambil referensi tekstual (baik cetak maupun digital), Deddy yang juga pernah menerbitkan karya fiksi (Senja di Francisco: Parade Cerpen Islami, 2004) ini mengambil data lapangan. Ia mewancarai langsung dan mengobservasi beberapa rumah sakit dan klinik, penyedia kebutuhan medis, termasuk pasien sealamiah mungkin. Dalam buku ini, Deddy Mulyana menjelaskan pentingnya komunikasi kesehatan bagi para profesional di dunia medis, bagaimana cara komunikasi memiliki dampak pada pasien dan masyarakat umum. Berbagai aspek budaya (pandangan hidup, agama, norma masyarakat, bahasa, bahasa tubuh, kondisi psikologi, dsb.) mempengaruhi interaksi para profesional medis dengan pasien dan masyarakat. Satu aspek penting adalah perspektif komunikasi kesehatan dalam buku ini juga membeberkan kajian bagaimana tenaga profesional medis berkomunikasi dengan pasien dan masyarakat umum yang memiliki latar belakang budaya berbeda-beda. Hal ini menjadi nilai lebih terutama dalam menyongsong pasar bebas yang di masa mendatang semakin luas jangkauannya seiring tren globalisasi. Sektor kesehatan sudah sama-sama kita ketahui termasuk bidang yang sejak awal menjadi bagian di dalamnya. Sehingga dalam era kesejagatan ini, para profesional medis diharapkan memahami komunikasi lintas budaya serta memiliki kompetensi lintas budaya agar menjalankan perannya dengan optimal dan sukses. Mengutip pernyataan Camiel J Beukeboom, asisten profesor ilmu komunikasi di Vrije Universiteit Amsterdam, “Komunikasi efektif antara dokter dengan pasien sudah secara umum diketahui menjadi elemen penting bagi keberhasilan dalam bidang medis.” Bahkan, Bowman mencatat bahwa kesembuhan pasien “dapat dipercepat atau dihambat bergantung pada komunikasi yang terjadi antara pihak yang merawat (caregiver) dengan pasien.” Kesalahan berkomunikasi kesehatan bisa berakibat fatal bagi kelangsungan industri kesehatan, terutama bagi rumah sakit, dokter, perawat, serta meruntuhkan kepercayaan pasien/masyarakat pada lembaga kesehatan. Pada akhirnya, sudah saatnya kita menggugat balik hubungan dokter-pasien yang berlaku selama ini. Hubungan dokter dan pasien merupakan hubungan yang unik, tidak sekadar transaksi terapeutik yang notabene merupakan pendekatan material semata. Ada nilai-nilai luhur yang tersirat dalam hubungan kedua pihak. Komunikasi adalah inti dari upaya mengusung keluhuran nilai relasi atau hubungan tersebut. (Erwin Kustiman/”PR”)***