




Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
dhjvdwyjvfyafaefoiqguqwfbkWUQKJFN Q
Typology: Cheat Sheet
1 / 8
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
taat. Mereka lebih taat kepada aturan adatnya dibanding kepada aturan hindu-budha. Karena itu, tak banyak jejak-jejak ajaran Hindu-Budha dalam aturan adat Minangkabau. Oleh sebab itu agak mencengangkan bila orang Minangkabau di kemudian hari dikenal sebagai masyarakat yang kuat perasaan beragamanya. Bahkan sekarang orang Minangkabau sudah mengikrarkan diri sebagai masyarakat kebudayaan yang menjadikan agama Islam sebagai identitas kulturalnya. Hubungan adat dan agama (Islam) di Minangkabau selanjutnya menjadi faktor terpenting yang membentuk identitas baru kebudayaan Minangkabau. Tidak banyak kebudayaan nusantara yang mengidentifikasi masyarakat adatnya dengan Islam.Selain Minangkabau, identitas kultural yang dikaitkan dengan agama juga terjadi pada masyarakat Bali. Masyarakat Adat Bali juga secara tegas menyatakan bahwa masyarakatnya hidup dan dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan nilai- nilai budaya serta kearifan lokal yang hidup di Bali. c. ABS-SBK sebagai Wujud Integrasi Islam dan Adat Minangkabau Dengan masuknya Islam ke Minangkabau, ajaran Islam telah menyatu dengan budaya masyarakat Minangkabau. Antara adat dan agama telah berpadu dan sulit untuk dipisahankan, dalam pepatah dikatakan, Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah). Dari pepatah ini jelas tercermin hubungan yang sangat erat antara agama dan budaya. Secara populer, pepatah ini juga sering disebut sebagai falsafah Minangkabau yang maksudnya adalah bahwa antara adat dan agama saling topang menopang dan tidak bertentangan antara satu dengan yang lain. Falsafah merupakan cerminan kebudayaan Minangkabau yang menerangkan antara agama dan adat istiadat yang berlaku saling topang menopang dan tidak saling bertentangan. Di dalam pantun adat Minangkabau terlihat hubungan antara agama dan adat; Simuncak mati tarambau (Si Muncak jatuh terperosok) kaladang mambao ladiang (ke ladang membawa parang) lukolah pao kaduonyo (luka lah kedua pahanya) Adaik jo syarak di Minangkabau (adat dan syara’ di Minangkabau) umpamo aua jo tabiang (ibarat aur dengan tebing) sanda manyanda kaduonyo (saling menyandar keduanya) Proses masuknya pengaruh ajaran agama Islam ke dalam masyarakat adat Minangkabau tidaklah berlangsung instan dan mudah. Sejak masyarakat Minangkabau mengenal agama Islam dan beralih secara perlahan memeluk agama ini,terlihat ada masa yang panjang di mana tidak dijumpai informasi tentang pergulatan agama ini dengan adat Minangkabau. Andaipun diterima teori masuknya Islam ke Minangkabau sejak abad ke-7 masehi, atau abad ke-12 masehi, pergulatan atau interaksi yang intensif justru terjadi di akhir abad ke-18 masehi hingga ke paruh pertama abad ke-20 masehi. Pada abad-abad yang disebut itu, interaksi itu juga muncul dalam bentuk konflik. Meskipun konflik berlangsung sangat ketat, namun masyarakat Minangkabau dalam posisi ini sesungguhnya sedang menghadapi proses penyesuaian diri dan menghadapi keharusan mereformasi adat dengan datangnya ajaran Islam. Akhirnya, dilema yang dihadapi masyarakat Minangkabau itu justru dapat diselesaikan sebagian besarnya dalam sebuah
Canduang nan Tuo (Tuanku Laras Kapau nan Tuo, Kakek dari mertua saya di Ampang Gadang dan Angku Canduang nan Tuo). Keterangan Inyiak Canduang ini disampaikan pula oleh Azwar Datuk Mangiang. Azwar Datuk Mangiang pernah mewawancarai Inyiak Canduang (penulis buku “Perdamaian Adat dan Syarak”) pada akhir tahun 1966 di Pekan Kamis Candung. Dalam makalahnya pada seminar Nasional tentang Sumpah Satie Bukik Marapalam yang diselenggarakan Universitas Andalah tanggal 31 Juli 1991 menyatakan peristiwa itu terjadi sekitar tahun 1644, jauh sebelum revolusi perkembangan Islam di alam Minangkabau oleh Padri. Sebagai catatan, Minangkabau sejak tahun 1575 hingga masa Sultan Ahmadsyah naik tahta (1668) berada dalam kekuasaan Kesultanan Aceh. Pendapat Inyiak Canduang tersebut, menunjukkan sudah ada bibit pembaharuan dalam struktur kepemimpinan adat Minangkabau setelah kedatangan Islam. Pembaharuan itu justru datang dari masyarakat adat Minangkabau yang diurus dalam struktur kepemimpinanan adat yang dipegang oleh para penghulu. Tak tersebut sama sekali adanya keterlibat kerajaan Pagaruyuang dalam peristiwa tersebut. Sedangkan isi dari Sumpah Satie tersebut menurut Inyiak Canduang dalam tulisannya tersebut adalah
memerintah tahun 1674-1730 masehi. Selanjutnya ada yang menulis bahwa piagam Sumpah Sati Bukik Marapalam disepakati tahun 1803 Masehi, atau pada masa revolusi Padri gelombang pertama (1803-1819). Piagam ini bertujuan untuk mengakhiri pertentangan dan perbedaan pendapat, yang berlangsung selama Perang Padri. Perjanjian ini merumuskan Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Rumusan ini adalah hasil kesepakatan antara pemuka agama dan pemuka adat Minang. Piagam Bukik Marapalam ini melahirkan konsep ideologis masyarakat Minang, yang kemudian dijadikan landasan dalam menjalankan kehidupan sosial, budaya,dan politik. Tetapi agak sulit membuktikan adanya kesepakatan perdamaian pada masa Padri gelombang pertama ini. Dalam berbagai literatur, pada tahun-tahun tersebut, Bukit Marapalam yang berlokasi di daerah Lintau itu justru menjadi arena terpanas dalam kontak senjata antara Padri dengan kaum adat. Kontak ini terus berlanjut hingga Belanda ikut campur dalam revolusi sosial masyarakat Minangkabau.Versi lainnya menyebutkan Piagam sumpah satie Bukik Marapalam terjadi masa Perang Paderi Gelombang kedua, tak lama setelah kekalahan besar Belanda dekat Marapalam dalam tahun 1824. Ada juga yang menyebutkan setelah jatuhnya benteng pertahanan Padri di Lintau di puncak Bukit Marapalam bulan Agustus 1831 .Berturut-turut jatuhlah ke tangan Belanda benteng di Talawi, Bukit Kamang dan kekuatan Tuanku Nan Renceh. Begitu juga dengan basis Padri di Agam jatuh ke tangan Belanda akhir Juni 1832. Peristiwa ini menyadarkan kelompok Padri dan Kaum adat, bahwa mereka diadu domba oleh Belanda. Disebutkan, sebelum Bukik Marapalam jatuh ke tangan Belanda, antara kaum adat dan agama telah berunding yang menghasilkan piagam sumpah satie tersebut. Peristiwa ini diprakarsai oleh Tuanku Lintau. Jeffrey Hadler sepertinya berpegang pada pendapat ini. Ia menulis dalam bukunya Piagam Bukit Marapalam terjadi sebelum pertengahan abad ke-20. Terlepas dari berbagai versi di atas, bahwa Sumpah Sati Bukit Marapalam sudah diyakini sebagai peristiwa yang benar-benar ada oleh masyarakat Minangkabau. Menurut Mestika Zed, bahwa peristiwa tersebut adalah fakta sosial yang hadir menjadi ingatan kolektif (collective memory) masyarakat Minangkabau. Dalam memori kolektif masyarakat Minangkabau, peristiwa Sumpah Sati Bukit Marapalam adalah peristiwa historis yang melahirkan falsafah Adat Basandi Syara’- Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Sebagai sebuah konsensus, ABS-SBK tidak berjalan sendiri tanpa panduan untuk melaksanakannya. Karena itu, ABS-SBK biasanya dibaca setarikan nafas (satu kesatuan gerakan) dengan dua diktum lainnya, yaitu Adat Nan Kawi, Syarak Nan Lazim. Adat yang kawi, syarak yang lazim berarti adat tidak akan berdiri kalau tidak dikawikan atau dikuatkan. Adat yang kewi (arab, qawiy) artinya adat yang kuat. Adat tidak berdiri kuat kalau tidak dikuatkan dan diperkuat (penguatan). Demikian pula syara’ (Islam dan hukumnya) sebagai kewajiban setiap orang menjalankannya, tidak berjalan dengan baik kalau tidak dilazimkan (dibiasakan, diadatkan). Lazim dimaksudkan wajib, tetapi dalam bahasa lazim lebih aktif, keduanya mempunyai sanksi hukum dan berdosa tidak dipenuhi. Selanjutnya, Yulizal Yunus, dengan mengutip Tambo Alam Minangkabau Adat dan Syara’ adalah pakaian segala alam. Dalam naskah tambo tersebut tertulis
Islam di Minangkabau telah terjadi sejak masa awal penyebaran Islam dari Arabia, tepatnya pada abad 7 dan 8 M. Informasi ini di antaranya dapat dibaca pada karya penulis asal Minangkabau seperti HAMKA dan MD. Mansoer. HAMKA sebagai contoh menyebutkan Islam sudah hadir di Minangkabau (Sumatera Barat) sejak abad ke-7 M. Ia menulis: Dan dalam suatu almanak Tiongkok tersebut bahwa pada tahun 674 Masehi sudah didapai satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera Barat. Kalau diingat bahwa Nabi Muhammad SAW wafat pada 632 Masehi, nyatalah bahwa pada tahun 52 Hijrah, 42 tahun setelah Nabi wafat orang Arab telah mempunyai perkampungan di Sumatera Barat. Mungkin kata-kata Pariaman berasal dari pada bahasa Arab "Bari Aman" (tanah daratan yang aman sentosa).. Sementara, M.D. Mansoer mengatakan Minangkabau Timur adalah produsen dan penjalur lada terbesar di Pesisir Barat Selat Sumatera sedjak abad ke-6. Karena itulah istilah yang lebih tepat digunakan adalah ‘Islamisasi’ yang mengisyaratkan proses perpindahan agama seseorang ke dalam Islam; atau proses intensifikasi keislaman seseorang atau kelompok Muslim. Dengan begitu, Islamisasi adalah proses yang terus berlanjut sejak terjadinya konversi seseorang atau kelompok ke dalam Islam, melintasi waktu dan generasi Muslim sampai sekarang ini dan terus melangkah ke masa depan. Tetapi ‘Islamisasi’ di Pagaruyung atau Dharmasraya atau di Nusantara secara keseluruhan— meminjam teori A.D. Nock—bukan ‘konversi’. Dalam konversi orang berpindah agama secara drastis; memeluk agama baru dengan meninggalkan sama sekali agama lama. Sebaliknya, proses yang terjadi adalah ‘adhesi’, yaitu orang berpindah ke agama baru, tetapi menerapkan ajaran agama secara bertahap atau berangsur- angsur. Karena itu, dalam proses adhesi, terutama di masa awal, terjadi sinkretisme agama. Namun, dalam perkembangannya, karena adanya pembaruan dan pemurnian agama, sinkretisme kian menghilang, sehingga kepercayaan dan praktek Islam semakin mendekat ke ortodoksi Islam. Untuk melihat kesesuaian Adat Minangkabau dapat diawali dengan mencermati mengapa orang Minangkabau begitu mudah menerima agama Islam. M. Sanusi Latief (1988) menulis beberapa faktor yang memudahkan penyebaran Islam di Minangkabau, yaitu perdagangan, adat Minangkabau, Ajaran Islam yang menghormati adat istiadat, kesesuaian ajaran Islam dengan prinsip adat dan penyiaran Islam secara persuasif..Keempat faktor tersebut akan diuraikan dengan memberikan opini pembanding dari sumber-sumber yang lain. a. Perdagangan Kehadiran pedagang Minangkabau dalam perdagangan antar negara di pantai timur Sumatera membuat mereka bergaul akrab dengan pedagang muslim dari Arab, Persia dan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengenalan islam ke wilayah darek Minangkabau dilakukan oleh para pedagang asal Minangkabau sendiri. Dengan demikian pengenalan Islam dapat dilakukan dengan cara damai dan kekeluargaan dengan aktor islamisasinya adalah pedagang pribumi Minangkabau itu sendiri. b. Adat Minangkabau Saat ajaran Islam di Minangkabau, para penyebar agama Islam hanya menemukan pengaruh adat yang kuat, dan tidak ditemukan rintangan dari penganut agama Budha dan Hindu. Dapat dikatakan bahwa agama masyarakat Minangkabau yang sebenarnya adalah adat mereka sendiri
dan dapat diduga bahwa masyarakat Minangkabau bukanlah penganut ajaran Budha dan Hindu yang taat. c. Ajaran Islam Ajaran Islam menghormati adat-istiadat selama tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal Ini membuat ajaran Islam akrab dengan adat Minangkabau. Selain itu, ajaran Islam dianggap cocok dengan adat Minangkabau, di antaranya ajaran Islam yang demokratis yang mengajarkan musyawarah dan mufakat, agama Islam tidak mengenal kasta dalam masyarakat serta mengahargai wanita sebagaimana adat Minangkabau menghargai wanita sebagai unsur penting kebudayaan Matrilineal d. Penyiaran Islam yang persuasif dan natural Penyiaran Islam ke masyarakat adat dilakukan secara persuasif melalui aktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, penyiaran Islam dilaksakan natural, mengikuti alur kehidupan masyarakat Minangkabau itu sendiri.