Docsity
Docsity

Prepare for your exams
Prepare for your exams

Study with the several resources on Docsity


Earn points to download
Earn points to download

Earn points by helping other students or get them with a premium plan


Guidelines and tips
Guidelines and tips

HUBUNGAN TARIF PAJAK DENGAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK TERHADAP PENERIMAAN NEGARA, Essays (university) of Economics

Menjelaskan hubungan sederhana antara tarif pajak dengam kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan negara

Typology: Essays (university)

2019/2020

Uploaded on 07/25/2020

andriyan-august-ryasdi-waji-atmaja
andriyan-august-ryasdi-waji-atmaja 🇮🇩

1 document

1 / 24

Toggle sidebar

This page cannot be seen from the preview

Don't miss anything!

bg1
HUBUNGAN TARIF PAJAK DENGAN KEPATUHAN WAJIB
PAJAK TERHADAP PENERIMAAN NEGARA
Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan II : Pajak Pertambahan
Nilai dan Ketentuan Umum Perpajakan”
Dosen Pengampu : DDhian Adhetiya Safitra
Disusun oleh :
Andriyan August Ryasdi Waji Atmaja
05 / 2302180112
Kelas 4-03
D III PBB/Penilai
POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
2019/2020
pf3
pf4
pf5
pf8
pf9
pfa
pfd
pfe
pff
pf12
pf13
pf14
pf15
pf16
pf17
pf18

Partial preview of the text

Download HUBUNGAN TARIF PAJAK DENGAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK TERHADAP PENERIMAAN NEGARA and more Essays (university) Economics in PDF only on Docsity!

HUBUNGAN TARIF PAJAK DENGAN KEPATUHAN WAJIB

PAJAK TERHADAP PENERIMAAN NEGARA

“Disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan II : Pajak Pertambahan

Nilai dan Ketentuan Umum Perpajakan”

Dosen Pengampu : DDhian Adhetiya Safitra

Disusun oleh :

Andriyan August Ryasdi Waji Atmaja

Kelas 4- 03

D III PBB/Penilai

POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

ii

DAFTAR ISI COVER .................................................................................................................................................... i

  • BAB 1 PENDAHULUAN DAFTAR ISI........................................................................................................................................... ii
  • 1.1 Latar Belakang
  • BAB 2 LANDASAN TEORI..................................................................................................................
  • 2.1 Pajak Secara Umum......................................................................................................................
    • 2.1.1 Pengertian Pajak
    • 2.1.2 Fungsi Pajak
    • 2.1.3 Dasar Pengenaan Pajak.......................................................................................................
    • 2.1.4 Tarif Pajak
    • 2.1.5 Penggolongan Pajak
    • 2.1.6 Sistem Pemungutan Pajak
  • 2.2 Agresifitas Wajib Pajak
  • 2.3 Struktur APBN 2020 Sebagai Sumber Penerimaan dan Belanja Negara
    • 2.3.1 Pokok - pokok Umum APBN
    • 2.3.2 Indikator Ekonomi Makro dan Pembangunan
    • 2.3.3 Penerimaan Negara Berdasarkan APBN
    • 2.3.4 Belanja Pemerintah Berdasarkan APBN
  • BAB 3 PEMBAHASAN
  • 3.1 Analisis Deskriptif Kepatuhan Wajib Pajak
  • 3.2 Realisasi Penerimaan Perpajakan
  • 3.3 Problematika Tarif Pajak Sebagai Upaya Meningkatkan Penerimaan Negara
  • KESIMPULAN
  • 4.1 Kesimpulan
  • 4.2 Saran
  • DAFTAR PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1 Pajak Secara Umum

2.1.1 Pengertian Pajak Menurut pasal 1 Undang Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan yang berbunyi “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH melalui buku karangan Mardiasmo (2011:1) menjelaskan bahwa pajak merupakan iuran kas yang wajib disetorkan masyarakat kepada negara berdasarkan Undang Undang dengan tidak mendapatkan imbal balik secara langsung dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak ialah setoran wajib yang bersifat memaksa dan tujuannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Adapun sifat memaksa pada pajak diatur dalam Undang Undang, artinya sistem pemungutan pajak dilakukan berdasarkan Undang Undang. Penjelasan ini merujuk pada sebuah frasa yang pernah dikemukakan oleh Lysander Spooner yang berbunyi “Taxation without consent is as plainly robbery”. Ia mengemukakan tentang pentingnya sebuah aturan yang mengatur sistem perpajakan baik dari segi pemungutan, pengenaan hingga alokasi anggarannya. Pemungutan pajak yang tidak dilandasi dengan sebuah aturan yang sah dapat dipersamakan dengan aksi “pencurian uang” yang merugikan rakyat. Penerimaan dari pajak digunakan semata mata hanya untuk belanja publik pemerintah. Alokasi belanja ini ditujukan untuk memberikan pelayanan publik yang optimal. Pemerintah memberikan imbal jasa secara tidak langsung artinya, apa yang kita bayarkan tidak dikembalikan dalam bentuk yang sama melainkan dipersamakan sebagai pelayanan yang akan diberikan. Sederhananya, apa yang kita bayarkan belum tentu imbal baliknya akan kita rasakan saat ini juga. Pajak berbeda dengan sumbangan. Walaupun dipersamakan sebagai suatu iuran atau kontribusi namun jika dilihat dari pengertian dan tujuannya, pajak dan sumbangan merupakan dua hal yang berbeda. Sumbangan merupakan pengeluaran yang tidak diartikan untuk kepentingan pemerintah (umum), tetapi dilakukan oleh pihak pihak tertentu dan untuk kepentingan suatu kelompok. Dalam penetapan besaran nominal dan pemungutannya, sumbangan tidak memerlukan dasar hukum berupa Undang Undang ataupun aturan penjelasannya sebagaimana aturan aturan dasar yang mengatur ketentuan umum perpajakan. Sumbangan lebih bersifat gotong royong dan tidak memaksa, namun hal ini berbeda cerita ketika terdapat suatu sumbangan wajib seperti iuran komplek di perumahan. Penerima sumbangan pada umumnya adalah mereka yang melakukan ataupun orang, kelompok dan badan yang sebelumnya telah menjadi sasaran atau tujuan sumbangan, misalnya sumbangan bantuan pembangunan waduk atau saluran irigasi. 2.1.2 Fungsi Pajak Menurut Siti Resmi dalam bukunya yang berjudul Perpajakan teori & kasus (2017:3), fungsi pajak dibagi menjadi dua ,yakni fungsi budgetair (Sumber Keuangan Negara) dan Fungsi Regularend (Pengatur/Regulasi). Di dalam fungsi budgetair, pajak dijadikan sebagai sumber

penerimaan pemerintah dalam hal membiayai belanja atau pengeluran, baik itu belanja rutin maupun pembangunan (infrastruktur). Pajak sebagai sumber keuangan negara menjadikan pemerintah berupaya sebaik mungkin untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke dalam kas negara. Sedangkan fungsi regularend, pajak merupakan instrument atau alat yang digunakan untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah baik dalam bidang ekonomi maupun sosial demi mencapai tujuan tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Dilansir dari laman pajak.go.id, secara umum pajak memiliki empat fungsi dalam pelaksanaannya. Dirjen Pajak menjelaskan bahwa pajak memiliki fungsi budgetair. Regularend, stabilitas, serta redistribusi pendapatan. Adapun ke-empat fungsi tersebut dijelaskan sebagai berikut :

  1. Fungsi Budgetair Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Dalam menjalankan tugas pemerintahan serta mendukung jalannya pembangunan, negara membutuhkan dana atau biaya. Pajak sebagai penerimaan negara digunakan untuk membiayai kebutuhan tersebut.
  2. Fungsi Regulerend Pajak digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pemerintah dapat menargetkan tingkat pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Misalnya ialah pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk melindungi produksi dalam negri, pembebasan pajak dengan tarif sebesar 0% untuk kegiatan ekspor serta pengenaan pajak atas barang mewah.
  3. Fungsi Stabilitas Selain sebagai instrument untuk mencapai tujuan bernegara, pajak juga dapat dijadikan sebagai alat untuk menjalankan kebijakan ekonomi mikro dan makro. Salah satunya adalah kebijakan yang berhubungan dengan tingkat harga dan inflasi. Pemerintah dapat menyusun kebijakan untuk menekan tingkat inflasi jika dianggap memiliki dampak buruk dalam produktivitas.
  4. Fungsi Distribusi Pendapatan Pada dasarnya pajak digunakan untuk membiayai kepentingan umum seperti penyediaan barang publik termasuk juga untuk membiayai pembangunan. Pajak yang telah dipungut dialokasikan untuk membiayai hal tersebut sehingga diharapkan mampu membuka titik perekonomian baru melalui kesempatan kerja, misalnya proyek pembangunan pemeintah. 2.1.3 Dasar Pengenaan Pajak Untuk menentukan besaran pajak terutang yang harus dibayar, pemerintah menetapkan komponen Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Dasar Pengenaan Pajak merupakan besaran yang digunakan untuk mengetahui jumlah pajak yang terutang setelah dikalikan dengan tarif pajak. Jika dijelaskan lebih lanjut, Dasar Pengenaan Pajak ialah jumlah harga jual, nilai ekspor, nilai impor, nilai penggantian, atau nilai lain yang ditentukan oleh Dirjen Pajak yang dipakai sebagai dasar penentuan besarnya pajak terutang. 2.1.4 Tarif Pajak Tarif Pajak merupakan tarif (biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase) yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak terutang. Menurut Mardiasmo (2016) dalam bukunya ia menjelaskan bahwa tarif pajak dibagi menjadi 4 (empat), yakni : tarif sebanding/proporsional, tarif tetap, tarif progresif (meningkat), dan tarif degresif (menurun).

Merupakan jenis pajak yang pengenannya secara langsung ditujukan kepada wajib pajak tanpa menggunakan pihak pemungut atau pihak lain yang bersangkutan. Sederhananya, pajak langsung adalah pajak yang langsung dibebankan kepada wajib pajak dan pengenannya tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Misalnya adalah Pajak Penghasilan. Proses pembayaran pajak penghasilan harus dilakukan sendiri oleh wajib pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dialihkan. Dengan kata lain, proses pembayaran langsung dilakukan oleh wajib pajak yang dibebankan pajak terutang. b) Pajak Tidak Langsung Sedangkan, Pajak Tidak Langsung merupakan jenis pajak yang pengenannya dilakukan secara tidak langsung terhadap wajib pajak yang bersangkutan. Jenis pajak ini pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain karena tidak memerlukan Surat Ketetapan Pajak. Dalam prosesnya, pajak yang digolongkan sebagai Pajak Tidak Langsung biasanya dibagi menjadi beberapa pihak, yakni pihak pemungut dan pihak yang dibebankan. Misalnya adalah PPN, dimana dalam prosesnya terdapat 2 (dua) pihak yang bersangkutan yakni pihak pemungut dan pihak yang dibebankan. Pihak pemungut adalah mereka penyedia barang dan/atau jasa yang telah dikukuhkan menjadi PKP, sedangkan pihak yang dibebankan adalah pihak yang menerima barang dan/atau jasa.

  1. Pajak Menurut Sifat Merupakan pajak yang digolongkan berdasarkan sasaran pembebanannya. Pajak menurut sifat dibagi menjadi 2 (dua) yaki Pajak Subjektif dan Pajak Objektif. a) Pajak Subjektif Adalah pajak yang pengenannya berdasarkan pada subjeknya. Artinya pajak ini berpangkal pada kemampuan subjek pajak untuk menghasilkan objek pajak. Misalnya adalah Pajak Penghasilan, dimana pajak ini bergantung pada kemampuan wajib pajak dalam menghasilkan pendapatan atau penghasilan. b) Pajak Objektif Sedangkan Pajak Objektif adalah jenis pajak yang pengenannya berdasarkan suatu objek pajak. Secara umum jenis pajak ini merupakan pungutan yang bergantung pada nilai dari suatu objek pajak. Misalnya adalah PPN (Pajak Pertambahan Nilai), dalam pengenannya pajak ini memperhatikan nilai jual atau nilai penyerahan dari suatu barang dan/atau jasa tanpa memperhatikan kemampuan subjeknya.
  2. Pajak Menurut Lembaga Pemungutnya Merupakan jenis penggolan pajak berdasarkan lembaga yang berwenang atau lembaga yang telah ditetapkan Undang Undang untuk melakukan pemungutan pajak. Pajak menurut lembaga pemungutnya dibagi menjadi 2 (dua) yakni Pajak Pusat dan Pajak Daerah. a) Pajak Pusat Pajak Pusat merupakan jenis pajak yang dipungut serta dikelola oleh Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Seluruh pelaksanaan administrasi yang berkaitan dengan Pajak Pusat dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) ata Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). Seluruh penerimaan yang bersumber dari pajak pusat digunakan untuk membiayai belanja keperluan negara dalam hal kepentingan umum seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan,dan lain sebagainya. b) Pajak Daerah Sedangkan untuk Pajak Daerah merupakan pajak yang langsung dipungut dan dikelola oleh Pemerintah Daerah baik Pemerintah Daerah tingkat 1 (Provinsi)

maupun Pemerintah Daerah tingkat 2 (Kabupaten/Kota). Segala pengadministrasian dan pelaksanaan yang berhubungan dengan pajak daerah dilakukan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah atau kantor sejenisnya yang dipegang langsung oleh Pemerintah Daerah setempat. Dilansir dari laman pajak.go.id, Direktorat Jenderal Pajak membagi pajak yang menjadi wewenang pemerintah pusat dan daerah antara lain : Pajak Pemerintah Pusat a. Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) c. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) d. Bea Materai e. PBB Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan Pajak Pemerintah Daerah a. Pajak Restoran b. Pajak Hiburan c. Pajak Kendaraan Bermotor d. BPHTB e. PBB Pedesaan dan Perkotaan f. Pajak daerah lainnya. 2.1.6 Sistem Pemungutan Pajak Sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang bersumber dari masyarakat, maka perlu ada mekanisme yang mengatur bagaimana penerimaan tersebut dapat masuk menjadi kas negara. Oleh karena itu, pemerintah memberlakukan sistem pemungutan dimana ditetapkan besarnya pajak terutang yang harus dibayar kepada pemerintah. Menurut Resmi dan Siti (2011:1) dalam bukunya yang berjudul Perpajakan Teori dan Kasus menjelaskan bahwa terdapat 3 (tiga) sistem atau mekanisme pemerintah dalam melakukan pemungutan pajak. Adapun sistem pemungutan tersebut dibedakan menjadi Official Assesment Sytem, Self Assesment System, With Holding System. a. Official Assesment System Merupakan sistem pemungutan pajak yang memberikan wewenang penuh kepada pemerintah untuk menentukan besarnya pajak terutang yang harus dibayar kepada pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Besaran pajak terutang dapat diketahui setelah aparatur pajak menghitung pajak yang terutang dan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak. Dalam hal ini, wajib pajak bersifat pasif dalam penentuan perhitungan pajak. Hal ini dikarenakana peran dominan dari aparatur pajak sangatlah besar. Oleh karena itu keberhasilan dari pelaksanaan perpajakan dengan sistem ini bergantung kepada tindakan aparatur pajak. b. Self Assesment System Merupakan kebalikan dari Official Assesment System, dimana wajib pajak diberikan wewenang secara penuh untuk melakukan perhitungan, penyetoran serta pelaporan atas kewajiban perpajakannya. Dalam sistem pemungutan ini, wajib pajak bersifat aktif karena segala mekanisme perpajakannya dilakukan secara mandiri oleh wajib pajak. Wajib pajak dianggap mampu menghitung besarnya pajak terutang dan memahami undang undang perpajakan yang sedang berlaku. Adapun wewenang secara rinci yang dimaksud dalam hal ini adalah sebagai berikut : a. Menghitung serta memperhitungkan pajak yang terutang secara mandiri

menimbulkan permasalahan apakah kebijakan tersebut dianggap sebagai peristiwa melanggar hukum ( tax avoidance ) atau tidak. Menurut Chenet.al dalam bukunya ia menyampaikan bahwa terdapat 3 (tiga) keuntungan yang setidaknya diperoleh dari pajak agresif. Pertama, adanya penghematan pajak yang secara tidak langsung akan meningkatkan keuntungan perusahaan. Kedua, pemberian bonus seperti kompensasi atau sejenisnya yang mungkin diberikan oleh pengelola kepada pemegang saham dan mitra perusahaan lainnya atas keuntungan yang diperolehnya. Ketiga, peluang munculnya rent exraction bagi para manajer perusahaan. Rent extraction merupakan tindakan yang diambil manajer perusahaan sebagai opsi untuk mengoptimalkan serta memaksimalkan kepentingan para pemilik.

2.3 Struktur APBN 2020 Sebagai Sumber Penerimaan dan Belanja Negara

2.3.1 Pokok - pokok Umum APBN 2020 Pada APBN 2020, anggaran serta belanja negara difokuskan pada penguatan sumber daya manusia melalui inovasi serta pembaharuan untuk mendukung visi Indonesia Maju. Dalam RPJM dengan kurun waktu 2020 hingga 2030, Pemerintah dihadapi dengan tantangan berupa permasalahan demografi. Pemerintah diharapkan mampu memberikan respons melalu reformasi di segala bidang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik melalui konsumsi, investasi, dan produksi sehingga mampu meningkatkan daya saing secara optimal. Pemerintah dalam hal merealisasikan APBN 2020 menyusun kebijakan kebijakan yang digunakan sebagai ujung tombak terlaksananya kegiatan anggaran pendapatan dan belanja negara. Beberapa kebijakan tersebut disusun melalui proses politik yang panjang sehingga dianggap sebagai perumusan metode yang tepat dalam eksekusinya. Salah satunya adalah kebijakan fiskal dimana pemerintah memanfaatkan wewenang perpajakannya untuk memperoleh penerimaan dan mendistribusikannya sebagai bagian dari belanja publik. Menurut Buku Informasi APBN 2020, dijelaskan bahwa gambaran kebijakan fiskal yang diambil pemerintah di tahun 2020 ini antara lain : a. Pergerakan arus pendapatan negara dengan tujuan menarik investasi dan meningkatkan daya saing b. Penerapan kebijakan dalam hal belanja negara yang berkualitas c. Pembiayaan yang dilakukan secara kreatif dan mitigasi resiko 2.3.2 Indikator Ekonomi Makro dan Pembangunan

Indikator APBN 2020 Outlook APBN 2019 Angka Pertumbuhan Ekonomi 5,30% 5,20% Nilai Tukar Rupiah Rp14.400 Rp14. Inflasi 3,10% 3,10% Harga Minyak per barel $63 $ Suku Bunga SPN 5,40% 5,60% Lifting Minyak (ribu barel/hari) 755 754 Lifting Gas (ribu barel setara minyak/hari) 1.191 1. Pengangguran 4,8% - 5,0% Kemiskinan 8,5% - 9,0% Rasio Gini 0,375 - 0, Indeks Pembangunan Manusia 72, Tabel 1 Indikator Ekonomi Makro dan Pembangunan Indikator Ekonomi Makro dan pembangunan digunakan sebagai instrument untuk menentukan target yang harus direalisasikan pemerintah. Dilihat dari pertumbuhan ekonomi, pemerintah menargetkan adanya peningkatan sebesar 0,1%. Walau masih berada di angka 5%, pemerintah tetap menginginkan adanya pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur yang masif serta belanja publik. Adapun proyeksi pembangunan ini dilakukan untuk meningkatkan daya saing perekonomian dalam negeri. Selain itu, kebanyakan masyarakat menilai bahwa komponen dari pertumbuhan ekonomi adalah berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB). Namun, jika dikaji lebih jauh PDB hanya salah satu dari seluruh komponen yang dijadikan dasar dalam menghitung pertumbuhan ekonomi. Perlu diketahui, PDB hanya melihat sisi produktivitas, pendapatan serta lapangan usaha. Dalam hal ini, PDB tidak memperhitungkan bagaimana perekonomian suatu negara dapat berjalan serta faktor-faktor yang melatarbelakangi jalannya roda perekonomian tersebut. Indeks Kesejahteraan Penduduk, Tingkat Kesehatan dan sejenisnya juga dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Seperti misalnya di Kanada dengan Indeks Kesejahteraan serta di Thailand dan Butan dengan Indeks Kebahagiaan. Sebagai mata uang dunia , dollar menjadi patokan nilai tukar bagi seluruh negara termasuk Indonesia. Jika dilihat dalam model perekonomian terbuka, nilai mata uang suatu negara memiliki dampak yang cukup besar dalam mempengaruhi pola konsumsi masyarakat. Sederhananya, jika nilai mata uang rupiah melemah maka barang diluar negeri cenderung dinilai lebih mahal disbanding dalam negri. Hal ini akan memberikan dukungan bagi pertumbuhan industry dalam negri. Namun disisi lain, pelemahan nilai rupiah juga menyebabkan banyak investor asing yang menanamkan modalnya di dalam negri karena cenderung dinilai akan memberikan potensi imbal balik yang cukup besar. Indonesia menerapkan kebijakan berupa floating exchange rate , dimana nilai tukar suatu mata uang bebas befluktuasi di pasar perekonomian. Walau bebas berfluktuasi , pemerintah tetap menetapkan batas atas ( ceiling ) dan bawah ( flooring ) nilai tukar rupiah terhadap asing. Penetapan ini dilakukan untuk mencegah keterpurukan ekonomi yang berkepanjangan ketika nilai tukar menghadapi penguatan atau pelemahan yang tajam. Inflasi yang dialami suatu negara tidak selamanya memberikan dampak buruk. Inflasi atau kenaikan harga secara keseluruhan dapat menjadi salah satu faktor adanya agresivitas kegiatan ekonomi. Dalam APBN 2020, Pemerintah memproyeksikan bahwa akan adanya kenaikan harga secara keseluruhan atau inflasi sebesar 3,10 %. Kestabilan inflasi juga merupakan prasyarat

Gambar 2 Postur APBN 2020 Sumber : Buku Informasi APBN 2020 a. Penerimaan Pajak Pajak merupakan sumber penerimaan tertinggi dan utama di negara kita. Berdasarkan Nota Keuangan APBN 2020, dijelaskan bahwa di tahun 2020 Pemerintah menargetkan tax ratio sebesar 11,6 % dari PDB. Adapun kebijakan pemerintah yang diambil sebagai proyeksi penerimaan perpajaka jangka menengah adalah : a) Menerapkan kebijakan perpajakan guna mendorong investasi dan daya saing b) Meningkatkan pengawasan dan kepatuhan pembayaran serta pelaporan perpajakan atas wajib pajak c) Pengendalian jumlah konsumsi masyarakat Kebijakan optimalisasi ini dilakukan pemerintah untuk mendukung tercapainya tax ratio sebesar 11,9 – 12,3 % di tahun 2023. Selain itu, kebijakan perpajakan tersebut dilakukan untuk mendorong kegiatan investasi dan kemampuan daya saing yang difokuskan pada kegiatan industrialisasi, ekspor, industri dalam negeri, hingga insentif perpajakan guna mendukung kegiatan ekonomi strategis. Untuk mewujudkannya, pemerintah memerlukan dukungan dari semua pihak baik itu pemerintah maupun masyarakat sebagai wajib pajak. b. Insentif Pajak Pemerintah memberikan insentif perpajakan untuk mendukung investasi dan daya saing serta mengoptimalkan penerimaan melalui perpajakan, Adapun insentif ini dilakukan agar distribusi pendapatan masyarakat dapat terserap secara maksimal. Selain itu, kebijakan pemberian insentif perpajakan disebabkan karena adanya persaingan tarif pajak antar negara. Mekanisme perpajakan disusun untuk menghindari munculnya permasalahan berupa double taxation. Salah satunya adalah pengenaan pajak bagi Subjek Pajak Luar Negeri, melalui kesepakatan P3B (Perjanjian Penghindaraan Pajak Berganda) atau tax treaty , wajib pajak dapat menentukan pengenaan pajaknya sesuai dengan ketentuan perpajakan. Misal, jika penghasilan wajib pajak dikenakan pajak atas Indonesia dan Singapura, maka wajib pajak tersebut dapat memilih salah satu berdasarkan tarif pajak yang paling rendah.

Adapun insentif perpajakan yang diberikan pemerintah untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan antara lain : a) Super Deduction Tax

  1. Untuk kegiatan Research and Development Pemerintah memberikan fasilitas berupa pengurangan pendapatan kotor hingga 300% dari seluruh biaya pengeluaran aktivitas R&D yang dilakukan di dalam daerah Pabean (Indonesia).
  2. Untuk kegiatan pelatihan Vokasional Pemerintah memberikan fasilitas berupa pengurangan pendapatan kotor hingga 200% dari seluruh biaya pengeluaran aktivitas pelatihan vokasional b) Investment Allowance Insentif perpajakan ini ditujukan kepada kegiatan industri padat karta. Pemerintah memberikan fasilitas berupa pengurangan pendapatan bersih ( net income ) hingga 60% dari keseluruhan biaya investasi untuk kegiatan industry padat karya. Insentif perpajakan Pemerintah perihal Super Deduction Tax diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019. Adapun Insentif perpajakan terhadap Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebagaimana telah dijelaskan adalah sebagai berikut : a) Pajak Penghasilan (PPh)
  3. Super deduction tax untuk kegiatan R&D dan pelatihan vokasional
  4. Mini tax holiday untuk pembiayaan investasi kurang dari Rp 500 miliar
  5. Investment Allowance untuk kegiatan industri padat karya
  6. PPh yang ditanggung Pemerintah atau PPh PDP antara lain : PPh SBN (Surat Berharga Negara) Valas, PPh pada sektor panas bumi, serta Penghapusan Piutang PDAM Tahun 2020 b) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
  7. Pemberian insentif PPN terhadap penyerahan barang impor dan strategis seperti mesin dan peralatan pabrik
  8. Pemebebasan pemungutan PPN atas impor dan penyerahan jasa dan alat angkut tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perpajakan, antara lain : kapal laut, pesawat udara dan kereta api. c. Tax Expenditure Ketika pemerintah menetapkan kebijakan berupa insentif atau mekanisme perpajakan lainnya, maka dapat dipastikan akan adanya potensi kerugian atau hilangnya penerimaan yang bersumber dari pajak. Secara sederhananya, tax expenditure merupakan bagian penerimaan pajak yang hilang akibat mekanisme atau ketentuan perpajakan yang berbeda dari biasanya yang diterapkan pemerintah. Biasanya, hilangnya potensi penerimaan pajak disebabkan karena penerapan sistem atau mekanisme perpajakan yang baru. Adapun bentuk perpajakan yang menyebabkan adanya Tax Expenditure di Tahun 2020 adalah : a) Tax Holiday b) Tax Allowance c) Ketentuan berupa pengecualian atau perbedaan pengenaan bentuk perpajakan dari yang sebelumnya.

Grafik 1 Belanja Pemerintah Menurut Fungsi dalam Triliun Rupiah Dalam tren 5 tahun terakhir, komposisi belanja pemerintah menurut fungsi selalu meningkat. Adapun belanja tersebut didominasi oleh belanja fungsi ekonomi, fungsi pelayanan umum, dan perlindungan sosial. Fokus pemerintah terhadap pembangunan yang berkelanjutan menyebabkan pemerintah menitikberatkan pengelolaan anggarannya terhadap pemberdayaan SDM. Untuk menciptakan tujuan pembangunan yang berkelanjutan, pemerintah mengoptimalkan alokasi penerimaan negara melalui belanja negara. Dalam kurun waktu 2015- 2019, anggaran fungsi ekonomi dapat terealisasikan dengan tingkat pertumbuhan sebesar 2,1%. Realisasi Anggaran tahunan ini didukung dengan pembiayaan pemerintah melalui pembangunan infrastuktur yang masif. Anggaran fungsi ekonomi tersebut dijadikan dasar dalam menentukan strategi pembangunan ekonomi guna menciptakan rumusan kebijakan yang dianggap perlu oleh pemerintah. Adapun strategi pembangunan ekonomi didasarkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, keterikatan dan konektivitas pendapatan dan belanja, serta ketahanan pangan. Kemudian untuk meningkatkan kinerja K/L dan non K/L, pemerintah memberikan alokasi anggaran yang cukup besar bagi fungsi pelayanan umum. Hal ini ditujukan untuk lebih mengoptimalkan pemberian pelayanan kepada masyarakat. Anggaran pelayanan umum tidak serta merta ditujukan untuk pemberian insentif kepada pegawai K/L maupun Non K/L. Proporsi anggaran pelayanan umum dianggarkan untuk kegiatan penyediaan pelayanan yang ditujukan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan umum, pengembangan IPTEK serta pembangunan daerah. Jika dikaji lebih dalam, alokasi anggaran pelayanan umum direalisasikan untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien yang mampu memberikan pelayanan secara maksimal dan bebas korupsi. Untuk mencapai program pemerataan kesejahteraan sosial, Pemerintah merencanakan kebijakan yang disusun melalui belanja terhadap fungsi perlindungan sosial. Adapun tren 5 tahun terakhir yang ditunjukan oleh pembiayaan belanja perlindungan sosial antara lain : pemberian bantuan sosial bagi keluarga miskin melalui Program Keluarga Harapan, relokasi dan realokasi bantuan sosial melalui subsidi, realisasi pemberdayaan sosial bagi masyarakat, program rehabilitasi sosial, alokasi bantuan pembiayaan uang muka untuk kredit pemilikan rumah, serta jaminan sosial bagi seluruh pensiunan PNS/TNI/POLRI dan veteran.

Namun, peningkatan anggaran dalam hal belanja tidak hanya terjadi di sisi ekonomi, pelayanan umum serta perlindungan sosial. Demi terciptanya keseimbangan pelayanan publik serta pemerataan pembangunan, pemerintah juga tetap mengoptimalkan pemberdayaan belanja publik untuk 8 (delapan) fungsi lainnya.

2. Belanja Pemerintah Pusat Berdasarkan Organisasi Untuk mendukung kinerja baik itu dari K/L atau di luar K/L, pemerintah meyusun pagu anggaran yang digunakan untuk mebiayai kegiatan operasional. Adapun anggaran dan belanja tersebut digunakan untuk menjaga kestabilan perekonomian global serta mencegah adanya ketimpangan kualitas SDM. Hal ini didasarkan pada tingkat agresivitas di masing-masing organisasi yang berbeda. 3. Tranfer ke Daerah dan Dana Desa Alokasi dana pemerintah pusat ke daerah atau Transfer ke Daerah dan Dana Desa merupakan bagian dari pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemeintah Daerah. Beberapa jenis transfer yang dilakukan pemerintah ialah : Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan DIY, dan Dana Desa. TKDD dijadikan sebagai instumen penting dalam membiayai pembangunan dan program program yang diselenggarakan pemerintah daerah. Berdasaran tren alokasi TKDD 5 tahun terakhir, tercatat bahwa adanya peningkatan yang signifikan dan sebanding dengan realisasi anggaran yang dilaporkan. Adapun tingkat perumbuhan alokasi TKDD setiap tahunnya mencapai 6,9 persen. Dilansir dari Nota Keuangan APBN Tahun Anggaran 2020, disebutkan bahwa peningkatan alokasi TKDD mampu memberikan dampak positif dalam hal pembangunan dan peningkatan kualitas SDM. Perbaikan tersebut dilihat dari peningkatan beberapa indikator layanan dasar yang difasilitasi oleh Pemerintah Daerah. Dalam 5 tahun terakhir ini tercatat bahwa peningkatan alokasi TKDD mencerminkan adanya korelasi yang positif terhadap indikator perekonomian makro dan pembangunan. Hal ini mengindikasikan keberhasilan pemerintah daerah dalam mengelola dana transfer sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas SDM.

3a-CP Persentase Kepatuhan WP Badan dan OPNK 62,89% 59,57% 62,08% 3a1-CP Persentase Tingkat Kepatuhan Formal WP Badan dan OPNK 62,89% 68,55% 72,52% 3a2-CP Persentase WP Badan dan OPNK yang melakukan pembayaran

  • 50,59% 51,64% Nama IKU Realisasi Tahun 2017 Realisasi Tahun 2018 Realisasi Tahun 2019 Tabel 3 Perbandingan Realisasi IKU tahun 2017 s.d. 2019 Meningkatnya realisasi Kepatuhan WP Badan dan OPNK disebabkan karena adanya peningkatan wajib pajak yang melaksanakan kewajiban perpajakannya secara sukarela. Selain itu, hal tersebut juga didukung dengan sistem pengawasan yang diselenggarakan Dirjen Pajak. Dua hal tersebut merupakan analisis yang paling tepat untuk menjelaskan adanya tren positif terhadap Tingkat Kepatuhan WP Badan dan OPNK. Monitoring dan evaluasi kegiatan yang dilakukan diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi kinerja selanjutnya. Berdasarkan analisis DJP, tingkat kepatuhan wajib pajak yang rendah pada dasarnya diakibatkan oleh kesadaran wajib pajak yang masih rendah. Masyarakat dianggap tidak mau berkontribusi dan memilih untuk menjadi free rider. Mereka cenderung untuk bersikap pasif dan hanya mau untuk menikmati apa yang menjadi haknya tanpa perlu melaksanakan kewajiban mereka sebagai warga negara. Dalam bukunya, Feld, Lars and Frey, Bruno. (2002) menyampaikan bahwa korelasi antara aparatur pajak (otoritas pajak) dengan wajib pajak merupakan kontrak psikologi yang saling terikat. Artinya dibutuhkan kepercayaan satu sama lain untuk mewujudkan tujuan bersama. Hal inilah yang menjadi tugas DJP untuk menciptakan pandangan baru kepada masyarakat. Sebagai institusi pajak yang menarik potensi penerimaan negara terbesar, DJP diharapkan mampu untuk menyusun strategi dan kebijakan perpajakan yang dinilai ramah oleh wajib pajak.

3.2 Realisasi Penerimaan Perpajakan

Indikator 2015 2016 2017 2018 2019 Tax Ratio* 13,20% 14,20% 14,60% 15,20% 16% Penerimaan Pajak 1.294 T 1.512 T 1.737 T 2.007 T 2.329 T SPT melalui e- Filing 2 Juta 7 Juta 14 Juta 18 Juta 24 Juta Jumlah WP terdaftar 32 Juta 36 Juta 40 Juta 42 Juta 44 Juta Tabel 4 Destination Statement Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2015- 2019 21,11% 1 84,44% 1a-CP Persentase realisasi penerimaan pajak 100% 84,44% 84,44% Penerimaan pajak negara yang optimal Kode SS/IKU Sasaran Strategis/ Indikator Kinerja Utama Target Realisasi Indeks Capaian Stakeholder Perspective (25%) Tabel 5 Target dan Realisasi IKU Kemenkeu-One Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2019

Di tahun 2019, Pemerintah dihadapkan dengan permasalahan eksternal dalam mencapai target penerimaan perpajakan. Capaian realisasi dari penerimaan pajak tahun 2019 memang lebih rendah daripada tahun 2018. Dilansir dari Nota Keuangan RAPBN 2019, dijelaskan bahwa di tahun 2019 Indonesia mengalami permasalahan ekonomi global disertai dengan laju perdagangan dunia yang mengalami perlambatan. Adapun perlambatan ekonomi ini didominasi oleh belum membaiknya harga komoditas hasil tambang dan kebun sawit serta diperparah kondisi perang dagang dan konflik geopolitik luar negeri. Pemerintah dalam hal menjaga kestabilan ekonomi dan pembangunan memberikan kebijakan beruba fasilitas perpajakan untuk sektor dan kegiatan tertentu. Adapun peningkatan penerimaan perpajakan setiap tahunnya didasari oleh meningkatnya jumlah objek pajak yang menjadi dasar pengenaan pajak. Namun, pemerintah juga perlu menghadapi resiko berupa peningkatan tax expenditure. Dampak dari program tersebut memberikan tekanan yang cukup besar bagi penerimaan negara. Para Analisis Kebijakan berpendapat bahwa kenaikan penerimaan pajak didominasi oleh meluasnya komponen komponen yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Dalam hal ini, pemberian fasilitas perpajakan selain mampu menumbuhkan dan menciptakan stabilitas ekonomi juga memberikan dampak positif bagi penerimaan perpajakan. Mereka sepakat bahwa pemberian fasilitas perpajakan memiliki peran yang efektif dalam menekan tingkat kasus penghindaraan pajak serta meningkatkan pesentase kepatuhan wajib pajak. Secara tidak langsung hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara disertai dengan meningkatnya penerimaan negara.

3.3 Problematika Tarif Pajak Sebagai Upaya Meningkatkan Penerimaan Negara

Ketika kita ingin meningkatan penerimaan perpajakan, maka hal yang pasti kita lakukan adalah menaikkan tarif pajak. Dengan menaikkan tarif pajak, jumlah nominal pajak terutang akan semakin besar. Hal ini akan berdampak pada peningkatan penerimaan perpajakan secara keseluruhan. Namun pada kenyataannya, mekanisme pengenaan dan penentuan tarif pajak tidak sesederhana itu. Dalam realisasinya, pemerintah dihadapi oleh beberapa pilihan yang salah satunya adalah kenaikan tarif. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa penerimaan perpajakan tidak serta merta dipengaruhi oleh tarif pajak. Para pakar kebijakan sepakat bahwa kenaikan tarif pajak memiliki korelasi yang cukup buruk dengan tingkat kepatuhan wajib pajak. Dalam pembahasan sebelumnya, kepatuhan wajib pajak menjadi indikator utama dari realisasi penerimaan pajak. Dengan menaikkan tarif pajak, justru pemerintah dianggap menambah biaya kepatuhan bagi wajib pajak. Hal ini akan menekan penurunan tingkat kepatuhan wajib pajak yang berdampak pada penurunan penerimaan pajak. Kondisi ini akan lebih diperparah apabila hal tersebut disertai dengan tindakan WP yang melakukan penggelapan pajak (restitusi fikfif). Dalam menyusun suatu kebijakan, pemerintah tidak serta merta hanya mementingkan satu faktor yang dianggap penting. Selain itu, pemerintah juga dihadapi oleh beberapa pilihan ( Trade off ) dari suatu rumusan masalah. Pemerintah diharapkan mampu untuk menghasilkan kebijakan yang tepat dari permasalahan tersebut. Ketika pemerintah menargetkan tingkat penerimaan yang tinggi, maka pemerintah akan dihadapkan pada trade-off antara penghematan atau peningkatan biaya kepatuhan. Artinya dua hal tersebut merupakan suatu pilihan yang tidak dapat dikombinasikan. International Tax Compact dalam bukunya yang berjudul “ Addressing Tax Evasion and Tax Avoidance. Deutsche Gesellschaft”, menjelaskan perihal alasan yang melatarbelakangi wajib pajak dalam melakukan penggelapan ( tax evasion ) dan penghindaran pajak ( tax avoidance ). Alasan-alasan tersebut antara lain rendahnya kesadaran wajib pajak atas kewajiban perpajakannya ( moral hazard ). besarnya biaya kepatuhan (pajak terutang) yang dibebankan, rendahnya sistem pengawasan perpajakan