





Study with the several resources on Docsity
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Prepare for your exams
Study with the several resources on Docsity
Earn points to download
Earn points by helping other students or get them with a premium plan
Community
Ask the community for help and clear up your study doubts
Discover the best universities in your country according to Docsity users
Free resources
Download our free guides on studying techniques, anxiety management strategies, and thesis advice from Docsity tutors
Keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan itu pada hakikatnya adalah satu dan memberi identitas khusus serta menjadi dasar terbentuknya suatu aturan dimasyarakat. Hukum adat pada setiap daerah dipengaruhi oleh eksistensi masyarakat daerah itu sendiri. Pada kesempatan ini penulis mengangkat judul yang berasal dari Wonosobo, kota asal penulis sendiri, dengan tujuan agar budaya Wonosobo lebih dikenal oleh masyarakat luas diluar wonosobo.
What you will learn
Typology: Papers
1 / 9
This page cannot be seen from the preview
Don't miss anything!
Mata Kuliah: Bahasa Indonesia. Dosen: Meilan Arsanti, S. Pd., M.Pd. EKSISTENSI MASYRAKAT DIENG TERHADAP PENGARUH HUKUM ADAT RUWATAN CUKUR RAMBUT GIMBAL DI WONOSOBO Oleh Sophian Haryanto Nim: 20203000587 ABSTRAK Hukum adat ruwatan rambut gimbal merupakan tradisi pencukuran rambut gimbal pada seorang yang memiliki rambut gimbal di wilayah Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah. Banyak penduduk asli daerah tersebut yang memiliki rambut gimbal secara alami. Rambut gimbal merupakan rambut yang saling melekat, sehingga menjadi gumpalan rambut menyerupai tali atau bulu domba. Gimbal biasanya mulai tumbuh pada anak laki-laki atau perempuan yang berumur 40 hari keatas. Perubahan terjadi diawali dengan sakit panas terlebih dahulu. Masyarakat Wonosobo menganggap bahwa rambut gimbal tersebut merupakan titipan Kyai Kaladete. Kyai Kaladete ini dipercaya masyarakat Wonosobo sebagai tokoh spiritual yang membuka daearah dieng dari hutan menjadi pemukiman warga. Masyarakat Wonosobo memiliki kesadaran dan ikatan yang kuat dalam menjalankan Hukum Adat ruwatan rambut gimbal, rambut gimbal tidak bisa dipotong secara sembarangan karena dikhawatirkan akan menimbulkan malapetaka. Kata kunci: Tradisi ruwatan, Rambut Gimbal, Budaya, Dieng, Wonosobo. A. Pendahuluan Keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan itu pada hakikatnya adalah satu dan memberi identitas khusus serta menjadi dasar terbentuknya suatu aturan dimasyarakat. Hukum adat pada setiap daerah dipengaruhi oleh eksistensi masyarakat daerah itu sendiri. Pada kesempatan ini penulis mengangkat judul yang
berasal dari Wonosobo, kota asal penulis sendiri, dengan tujuan agar budaya Wonosobo lebih dikenal oleh masyarakat luas diluar wonosobo. Selain itu penulis juga berharap agar pembaca dapat mengerti bagaimana sejarah, prosesi pelaksanaan, tanda waktu pemotongan sehingga dapat memaknai budaya ruwatan rambut gimbal diwonosobo dengan positif. Makalah ini menggunakan pendekatan Antropologi dan Filosofis. Melalui pendekatan ini maka upaya untuk memahami suatu budaya adalah dengan cara melihat wujud praktek keagamaan dan simbol yang ada dan berkembang didalam masyarakat. Dengan pendekatan ini pula penulis mencoba memaparkan situasi dan kondisi masyarakat yang meliputi kondisi sosial, budaya, dan kondisi keagamaan.^1 Teori yang dipakai penulisan ini adalah teori fungsionalisme yang dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski (1884-1882), bahwa fungsi adalah “pemenuhan kebutuhan”. Kebutuhan menurut Malinowski adalah sistem organisme manusia di dalam perangkat sosial kebudayaan dan hubungan dengan alam sekitar yang diperlukan bagi kelangsungan hidup.^2 Inti dari teori ini adalah bahwa pendirian segala aktivitas menjadi kebiasaan yang menghasilkan suatu aturan, sebenarnya bermaksud untuk memuaskan sejumlah kebutuhan naluri manusia yang berhubungan dengan unsur ketenangan kehidupannya. Berdasarkan pendapat tersebut, maka tradisi ruwatan cukur rambut gimbal ini merupakan salah satu hukum yang mengikat masyarakat wonosobo. B. Permasalahan Banyak orang beranggapan bahwa orang yang berambut gimbal identik dengan konotasi yang kurang baik, orang yang berambut gimbal dianggap urakan atau menganut aliran garis keras yang tidak baik di dalam strata status sosial, namun berambut Gimbal di sekitaran wilayah Dataran Tinggi Dieng, Mereka bukanlah penganut aliran Reage atau rasta seperti Bob Marley, atau garis keras seperti aliran underground dan anak punk jalanan. Rambut Gimbal yang mereka miliki bukan hasil permak Salon melainkan alami atas kehendak alam. Mitos yang berkembang dan dipercaya sebagian masyarakat dataran tinggi Dieng, rambut gimbal dianggap bisa membawa musibah atau masalah di kemudian (^1) Koentjaraningrat,” Pengantar Ilmu Antropologi” Jakarta: Aksara Baru, 1980. hlm. 217. (^2) Soerjono Soekamto. “Pengantar Ilmu Sosiologi” Jakarta: Gramedia. 1969, hlm. 79.
beliau ingin mengasingkan diri dari keramaian dan ingin bertapa di dataran tinggi Dieng. Sebelum bertapa, beliau berpesan kepada rakyatnya: “Mung semene wae anggonku njuwita Pamarintah, aku arep menjang Dieng” artinya: “Hanya sampai sekian aku mengabdi kepada Pemerintah, aku akan ke Dieng.” Dalam setiap doanya, beliau memohon kepada sang Khaliq supaya cita- citanya dahulu, yaitu membahagiakan dan mensejahterakan masyarakat bisa terkabul. Meski ia jauh menyepi tetapi ia tetap begitu mencintai rakyatnya. Tanda bukti kecintaan Kyai Kolodete kepada masyarakatnya berharap bisa direstui sang Khaliq. Tanda bukti menjadi ciri anak cucunya di kemudian hari akan berambut Gimbal seperti halnya rambut Kyai Kolodete, dan permohonan itu benar-benar dikabulkan sang Khaliq. Sampai sekarang di dataran tinggi Dieng dan sekitarnya banyak terdapat anak berambut Gimbal. Oleh masyarakat, anak berambut Gimbal ini disebut Anak Gimbal dan dianggap titisan Kyai Kolodete yang berkekuatan gaib itu. Berikut urutan tata cara ruwatan yang biasanya dilakukan oleh masyarakat Dieng:
1. Prosesi pelaksanaan Ritual Ruwatan Cukur Rambut Gimbal. Dalam melakukan Ruwatan Anak Gimbal Masyarakat Dieng memiliki dua pilihan menu. Bisa memilih secara mandiri atau massal. Pertimbangannya menyesuaikan kemampuan keluarga yang meruwat anak Gimbalnya. Jika keluarganya sendiri bisa memenuhi permintaan dan memiliki biaya menyelenggarakan, ruwatan secara mandiri bisa dilaksanakan. Namun jelas ruwatan secara mandiri membutuhkan biaya besar. Harus menanggung segala biaya seremoni ruwatan. Maka masyarakat Dieng lebih banyak memilih meruwat anak Gimbalnya secara masal. Masyarakat gotong royong melakukan ruwatan. Biaya dan tenaga ruwatan ditanggung bersama. Tentunya, ruwatan secara massal ini juga akan lebih meriah. Ribuan masyarakat Dieng berbondong- bondong datang memenuhi lokasi. Bisa dikatakan, ruwatan massal sekaligus menjadi pesta rakyat Dataran Tinggi Dieng sekaligus melaksanakan hukum adat. Lazimnya, setiap bulan Sura dalam penanggalan Jawa atau bulan Agustus adalah saat pelaksanaan Ruwatan. Namun ruwatan tetap bisa dilaksanakan di luar waktu lazimnya. Tak jadi
masalah kapanpun ruwatan dilakukan. Dalam pelaksanaannya, prosesi ruwatan ditandai dengan pembacaan doa di rumah pemuka Adat Dieng terlebih dulu. Kemudian dilanjutkan dengan kirab arak-arakan anak gimbal yang diruwat menuju Kompleks Candi Arjuna.^4 Pada saat ritual kirab berjalan, para anak Gimbal akan dilempari beras kuning dan uang koin. Kirab lalu singgah ke Dharmasala untuk dilakukan jamasan Anak Gimbal di Sendang Sedayu. Tatkala memasuki sendang Sedayu, anak-anak Gimbal berjalan dinaungi oleh Payung Robyong di bawah kain kafan panjang di sekitar sendang sambil diiringi musik Gongso. Air untuk jamasan tersebut ditambah kembang tujuh rupa (sapta warna) dan air dari Tuk Bimalukar, Tuk Sendang Buana (Kali Bana), Tuk Kencen, Tuk Goa Sumur, Kali Pepek dan Tuk Sibido (Tuk Pitu). Setelah penjamasan selesai, anak-anak rambut Gimbal dikawal menuju tempat pencukuran, prosesi Ruwatan Anak Gimbal. Prosesi Ruwatan pencukuran Rambut Gimbal dipimpin langsung Pemuka Adat Dieng. Namun begitu, orang yang mencukur tidak harus Pemuka Adat Dieng. Orang-orang yang ditunjuk adat, misal Bupati dan Pejabat Pemerintah dapat menjadi pencukur rambut Anak Gimbal.Pencukuran dilakukan di halaman Candi Puntadewa, Kompleks Candi Arjuna. Setelah rambut Gimbal selesai dicukur, potongan rambut itu diletakkan pada cawan berisi air dari Bima Lukar dan bunga setaman. Setelah pencukuran, acara dilanjutkan dengan doa dan tasyakuran lalu semua Uborampe prosesi dibagikan kepada para pengunjung. Konon ceritanya itu dapat membawa berkah pada yang membawanya. Ritual terakhir dalam ruwatan anak Gimbal adalah melarung potongan rambut. Larung dilakukan di tempat yang terdapat air yang mengalir ke pantai selatan Jawa.Lokasi larung rambut Gimbal ini dilakukan di Sendang Sukorini, Kali Tulis.Biasanya juga dilakukan di Telaga Warna. Tempat- tempat itu memiliki hubungan dengan Samudera Hindia.
2. Tanda dan waktu diperbolehkan pemotongan rambut gimbal. Ritual Ruwatan Cukur Rambut Gimbal biasanya dilaksanakan setiap tahun pada tanggal Satu Sura, tidak ada patokan yang pasti pada anak umur berapa rambut Gimbal akan dipotong, akan tetapi hal tersebut akan dilakukan pada saat anak telah (^4) Cholid Narbuko dan Abu Ahmadi, ”Metodologi Penelitian Budaya wonosobo”, Jakarta: Bumi Aksara, 1999 , hlm.
dan mendapatkan rejeki yang melimpah, sehingga dapat membawa kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan kepada seluruh warga masyarakat pada khususnya.^7 D. PENUTUP Kesimpulan dari pembahasan diatas Ruwatan adalah ritual sakral dengan tujuan untuk membebaskan, membersihkan seseorang dari sesuatu yang dipandang tidak baik atau buruk serta jahat. Dalam prosesi upacara ruwatan ini ternyata terdapat akulturasi antara nilai- nilai tradisi lokal dan nilai- nilai Islam, seperti halnya dalam upacara ini masih terdapat sesaji sebagai perlengkapan upacara yang menandakan sebagai tradisi lokal, sedangkan nilai Islamnya terdapat pada doa yang di gunakan. Kyai Kolodete ini dipercaya juga memiliki rambut gimbal yang kemudian rambut gimbal tersebut di titipkan kepada anak-anak yang berada di Dieng, dengan maksud agar orang tua dari anak gimbal tersebut dapat berprihatinuntuk menjaga anak tersebut dengan baik dan untuk mempersiapkan kebutuhan guna melaksanakan ruwatan. Kegiatan ini merupakan kegiatan spiritual yang dimaksudkan untuk memohon petunjuk dan perlindugan kepada Allah Swt sang penguasa alam agar di hindarkan dari segala bentuk rubeda dan sengkala atau marabahaya. Bagi masyarakat Dieng, upacara ruwatan ini memiliki makna yang sangat sakral dalam kehidupan mereka. Ketenangan hati mereka akan tercapai apabila anak mereka yang memiliki rambut gimbal telah diruwat dan dipotong rambut gimbalnya. Mereka sangat yakin dan percaya sekali bahwa setelah anaknya yang berambut gimbal diruwat dan dipotong rambutnya yang gimbal maka si anak tersebut akan terbebas dari sesuker yang dititipkan oleh Kyai Kolodete. Saran ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Wonosobo agar bisa andil dalam melestarikan ruwetan rambut gimbal khusunya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Wonosobo agar dalam mengelola kearifan lokal difokuskan berbasis pada kepentingan masyarakat, sehingga anak-anak berambut gimbal dan keluarganya bisa merasa diperhatikan, jangan hanya menjadi komoditas pariwisata kecil saja, tetapi juga harus diupayakan agar dari pelestarian budaya dapat (^7) Heri cahyanto, “Ruwatan Cukur Rambut Gimbal di Desa Dieng Kejajar Kabupaten Wonosobo”, Pasca Sarjana: Universitas Sunan Kalijaga, 2007, hlm. 5
menghasilkan manfaat baik secara ekonomi maupun manfaat lain misalnya, serta keunikannya akan mampu menjadi nilai tambah pada sektor pariwisata. Kemudian penulis berharap kepada masyarakat Wonosobo supaya dapat saling bersinergi menjaga kearifan lokal yang selama ini ada, dengan cara mensosialisasikan nilai budaya kepada generasi muda dan masyarakat luar daerah dengan penuh harap bisa merubah pandangan negative orang luar daerah terkait anak-anak yang dipandang kurang baik karena rambutnya yang gimbal dan agar tetap terjaga kelestariannya Ruwatan Cukur Rambut Gembel.